Durah Amajida & Ahmad Gimmy P.S.-Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Perkembangan kasus perdagangan dan eksploitasi anak mengalami fluktuatif dari tahun 2011-2022. Terjadi peningkatan dari tahun 2011-2017, penurunan pada tahun 2018-2020, dan mulai meningkat kembali di tahun 2021 (Rizaty, 2021). Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2022 sebanyak 21.241 anak menjadi korban kekerasan berupa fisik, psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Secara spesifik, kasus kekerasan seksual pada anak sejumlah 9.588, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sejumlah 219, dan 216 kasus eksploitasi pada anak (Pratiwi, 2023). Kecenderungan peningkatan kasus TPPO dan eksploitasi anak dibenarkan oleh Tessa Revananda, selaku Analis Pengawasan TPPO Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) DKI Jakarta.
Menurutnya, secara sistem sudah baik jika ditinjau dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur TPPO dan eksploitasi anak seperti UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, masih banyak ditemukan kendala dan tantangan saat di lapangan seperti shelter yang belum memadai di setiap daerah, kurangnya tenaga forensik yang kompeten, minimnya anggaran dari Pemerintah, aparat penegak hukum yang belum menunjukkan keberpihakannya terhadap anak, seringnya aparat penegak hukum yang dimutasi setelah mendapat pelatihan SPPA, kurangnya pemahaman psikologi forensik di Polda wilayah, serta belum adanya payung hukum berkenaan dengan psikologi forensik sebagai sebuah departemen yang independen.
Tiga hal yang ideal dan bisa diupayakan di Indonesia adalah percepatan SDM guna mengisi tenaga profesi sesuai bidangnya, penambahan alokasi anggaran sehingga bisa membentuk pos pengaduan di setiap daerah dan mengadakan pelatihan tenaga terlatih, serta membuat ruang terbuka ramah anak. Tiga hal ini ditujukan untuk mengatasi kesenjangan baik dari level SDM, penanganan kasus, hingga perspektif dari para aparat penegak hukum.
Salah satu hal konkret lainnya yang bisa dilakukan ialah mengadakan sosialisasi dan studi banding oleh KPAI pusat (DKI Jakarta) yang menjadi percontohan untuk KPAID provinsi lainnya.
"DKI Jakarta bisa menjadi percontohan yang baik untuk provinsi lainnya. Ini bukan karena saya pernah bekerja di sana ya, tapi memang DKI Jakarta lebih unggul dalam sistem, koordinasi, maupun fasilitas sarana prasarana. Koordinasi yang kami lakukan dari level pemerintah (advokasi kepada DPR RI) sampai pada level terkecil yaitu gugus tugas di tingkat RT dan RW. Para profesi terkait bekerja di bawah naungan SK Gubernur yang memuat tindak-tanduk, kewajiban, tugas, wewenang, jobdesc dan jobspec sesuai profesi, gaji sesuai dengan urutan profesi, dan garis koordinasi yang jelas. Profesi di bidang psikologi masih mengacu pada Kemenkes bahwa minimal psikolog klinis. Untuk spesifik psikolog forensik memang belum ada nomenklatur khusus pada regulasinya. Biasanya ada pelatihan dari pihak Apsifor setiap 6 bulan sekali seperti Psychological First Aid (PFA) untuk klien maupun diri sendiri yang disesuaikan dengan standar ISO." tutur Tessa Revananda saat wawancara melalui Zoom Meeting.
Selain itu, fasilitas sarana prasarana DKI Jakarta lebih memadai seperti 19 titik pos pengaduan yang tersebar di masing-masing kecamatan, adanya RPTRA (Rumah Publik Terpadu Ramah Anak), dan mobil keliling. Upaya-upaya ini juga didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang telah mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan berbagai program yang mendukung pemenuhan hak dan perlindungan kepada anak seperti pengembangan kabupaten/kota layak anak (KLA), Sekolah Ramah Anak, pembentukan Forum Anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, penyediaan ruang pengadilan ramah anak, kampanye-kampanye gerakan perlindungan anak, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Anak (GN-AKSA). Di sisi lain, upaya perlindungan anak yang dilakukan belum banyak menekankan pada pencegahan dan belum dilakukan secara terpadu dengan melibatkan keluarga, anak, dan masyarakat secara bersama-sama (Utami, 2018). Dengan demikian, diharapkan DKI Jakarta bisa menjadi percontohan bagi provinsi lain untuk melakukan upaya penanganan kasus eksploitasi anak secara terpadu dari semua lapisan sampai dengan gugus tugas (lingkup RT/RW).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H