Senja mulai temaram di langit-langit sumatera. Di bawah jembatan nan gagah membelah Musi, kisahnya baru akan dimulai
Tepat setelah bubaran hiruk pikuk jual beli tanah abangnya kota ini, gadis kecil itu menyusuri tiap-tiap tumpukan sisa sayur mayur di tiap sudutnya. Tak perlu dipilah, asal masih laik digenggam, ia karungkan. Bagi dunia sebutannya mulung, baginya menyambung hidup
Tak perlu banyak, cukup baginya dan bagi yang sepuh di rumah. Ayah entah kemana, ibu sudah dipanggil sang pencipta sewaktu melahirkannya.
Usianya baru menginjak usia sekolah dasar, namun beban yang ditanggung tak mampu membuatnya merengek manja seperti anak seusianya. Bebannya adalah hidup hari ini, besok semoga ada belas kasih.
Dilewatinya malam seorang diri, tanpa takut. Gigil yang menemani. Tak kan pulang bila belum dapat yang bisa dijual, cukup beli beras makan berdua, bahagia sudah.
Namun pantang baginya mencuri, meski lirikan mata mencurigai. Dia diajarkan budi pekerti sejak dini, biar susah masih punya harga diri.
Tak seperti orang-orang berdasi, ngakunya berpendidikan tinggi, namun pekerjaanya ya mencuri.
Tak malukah mereka yang mengaku politisi, menjual janji lima tahun sekali, pada gadis kecil ini?!
Urat malu mungkin sudah ditebas tepat kursi dimenangkan, yang diperdulikan nasib perut sendiri, juga kroni.
Sudah menuju larut malam, gadis kecil beranjak pulang.
Pundi-pundinya cukup buat menatap hari esok, tak perlu kenyang, sekedar mampu tegak menantang takdir hari-hari esok, ia tersenyum.