Lihat ke Halaman Asli

Salah Mencintai

Diperbarui: 20 Agustus 2023   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mataku tak mampu terbendung, bulir bulir air mata masih terus menetes membasahi kedua pipi.  Lama  aku terpekur, sembari menatap pintu rumah Sabda, kakak lelakiku satu satunya.  Pintu itu tampak tertutup rapat, seolah mengisyaratkan Sabda tak ingin diganggu oleh siapa siapa.  Setiap aku menghadapi persoalah hidup, tak ada tempat lain untuk bersandar dan mengadukan segala permasalahan kecuali padanya.  Kerabat satu satunya yang aku miliki semenjak kepergian kedua orang tua.  Aku hanya mampu terisak pelan dan  tak memiliki keberanian lebih untuk mengetuk pintu. 

Sejenak aku menyandarkan bahu pada tembok, lambat laun seluruh persendian terasa lunglai, hingga tenaga nyaris tak lagi tersisa.  Aku terduduk sembari berusaha sekuat tenaga menahan bobot tubuh, kedua lutut kian gemetar.   Aku harus kuat, demi bocah mungil yang tertidur lelap dalam dekapanku.  

Tampaknya tangisan kecilku  dan dinginnya udara malam tak juga mengusiknya, sesekali terdengar dengkuran halus dari bibir mungilnya yang tampak merah merona.  Kehadiran bocah mungil nan tampan tak juga menjadi alasan aku bebas dari peringai buruk orang yang harusnya  menjadi pelindung bagi kami berdua.  Lambat laun isak tangis terdengar dan benar saja, isak tangisku mengusik Sabda.  Pintu terbuka, aku hanya mampu tertunduk dan tak  sanggup menatap wajahnya.  Tanpa kata, Sabda membenamkan aku dalam pelukannya.   Kami hanya mampu terdiam dengan rasa dan pikiran masing -- masing.   

"Tenang Dek, kamu akan selalu aman dalam pelukan Kakak!" Ucapnya sembari membelai dan mengecup keningku.  

Sesaat kemudian ia meraih tubuh mungil bocah yang ada dekapanku.  Air mataku semakin mengalir dengan derasnya.  Tak lama kemudian tangan kokoh itu menuntun langkahku masuk ke dalam rumah.  Luka luka di beberapa bagian tubuh terasa begitu nyeri.

"Dek, pria itu menganiaya kamu lagi?  Sampai kapan kamu akan bertahan dalam penderitaan seperti ini? Ucapnya pelan, sembari tangan kokohnya mendongakkan wajahku. 

Seketika aku tak lagi mampu menyembunyikan luka luka lebam di wajah.  Darah segar sesekali mengalir dari hidung dan ujung bibir.   Sabda, tampak sangat geram.  Kepalan tangan kanannya seketika terayun dan mengenai tembok, sementara tangan kiri mendekap tubuh bocah mungilku.  Darah segar mengalir dari ujung kepalan tangannya.    Bocah mungil dalam dekapannya tampak menggeliat, barangkali dia merasa terusik.  Aku segera beranjak dan memeluk tubuhnya dari belakang.

"Kak, Kakak tenang juga yah.  Widya nggak apa apa, kok." Ucapku berbisik di telinganya.

"Nggak apa apa, bagaimana, Dek? Mulut kamu bisa saja membohongi Kakak, tetapi luka di wajah kamu itu tidak bisa bohong.

"Maafin Widya, Kak.  Widya telah memilih pria yang salah."

"Kamu tunggu kakak di sini, sampai kakak pulang dan jangan ke mana mana!" Ujarnya, sembari menyerahkan bocah mungil itu kepadaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline