Kemarin saya sudah bercerita tentang kisah saya dengan matematika (klik di sini). Seringkali dalam hidup matematika menjadi momok mengerikan yang menghantui. Simbol-simbol yang tidak dikenal, pola penerjemahan rumus yang keliru, ditambah pula nilai jelek yang sering muncul karena ketidakmampuan dalam memahami dan mengerjakan matematika. Bila berakhir demikian, seorang anak harus bersiap berhadapan dengan amarah orangtua dan ledekan-ledekan di sekolah (yang mengatakan bodoh dan lainnya—yang tidak jarang dilontarkan oleh para guru sendiri).
Kondisi ini pula juga didukung oleh para pengajar yang seharusnya membimbing dengan sabar, akan tetapi sering tidak sabar karena muridnya tidak lekas mengerti. Tidak jarang pula ada guru yang lebih menyukai mengajari anak yang cerdas (sejak lahir) dan pintar (cepat memahami suatu materi) dibandingkan menghabiskan waktu untuk anak yang sulit dalam mempelajarinya (bodoh?). Saya di sini tidak bermaksud menghakimi para guru atau pengajar, tulisan saya di sini berdasarkan apa yang saya pahami dan saya peroleh selama belajar 12 tahun.
Saya sendiri termasuk orang yang lambat dalam memahami sesuatu yang berhubungan dengan perhitungan (belajar matematika). Saya hanya ingin tahu ‘kenapa matematika’ daripada saya langsung mengerjakan. Saya membenci matematika karena saya merasa tersiksa dengan simbol-simbol yang saya tidak pahami. Saya juga membencinya karena tekanan yang setiap saat diberikan oleh orang di sekeliling agar saya mendapatkan nilai sempurna dalam matematika. Sesungguhnya untuk tujuan apa matematika harus dipelajari? Kenapa orang harus bernilai sempurna? Apakah pendidikan matematika untuk menghasilkan anak-anak yang bernilai sempurna? Saya tidak pernah ingin memupuk kebencian saya terhadap matematika, tetapi layaknya sedimentasi, ia selalu menebal dari waktu ke waktu di kelas.
Keengganan saya dengan matematika tak berkunjung surut hingga saya bersentuhan kembali dengan matematika. Saat saya tengah bergelut dengan materi skripsi yang saya sendiri tidak banyak tahu. Bahkan di perkuliahan saya pun tidak mendapatkan materinya. Satu matematika yang lain (bagi saya). Berawal dari dengar-dengar, mencari-cari, sayapun menemukannya. Ialah Fuzzy logic. Apa itu? Binery logic? Apa itu? Probabilitas (aduh!). Logika matematika (ampun!).
Dua materi terakhir yang saya sebutkan, jelas saya tidak menguasainya. Apa itu? Saya juga tidak begitu tahu. Saya hanya pernah bersentuhan (probabilitas dan logika matematika) sekali sewaktu SMA. Tentu saja, dengan kesulitan—haha. Tapi saya kali ini, sudah bersiap untuk membuka hati, membuka diri untuk menerima matematika (karena memang harus begitu). Saya pun berkenalan dengan matematika kembali. Berkata ‘hi’ dengan malu-malu, menyebutkan nama, berjabat tangan, dan membangun komunikasi yang lebih intens. Tanpa guru, tanpa siapapun, hanya saya dan dia.
Untuk itu saya memaksakan diri untuk membaca, membaca kopian materi dari buku yang dicarikan seorang kawan. Sekitar lima bab. Saya ingin muntah. Materi beraroma matematika itu menekan saya, ditambah pengantarnya adalah bahasa Inggris. Saya tidak begitu pusing dengan bahasanya, tetapi untuk membaca sesuatu yang tidak disukai dengan bahasa yang tidak sering digunakan itu hal yang lain. Akan tetapi, begitu saya mencoba membacanya perlahan, buku itu membawa ke dunia matematika yang mengasyikkan
Saya dibawa ke dalam kisah Lewis Caroll Through the Looking Glass dan cerita tentang matematika dalam kehidupan sehari-hari. Begitu dekat tetapi begitu jauh. Tak jarang pula kepala ini ngilu ketika sampai pada teori tentang logika ataupun probabilitas. Tapi baru kali ini, matematika sedemikian mempesona. Dari situ, saya menyadari, matematika itu hidup. Bukan teka-teki. Itu kehidupan sesungguhnya. Dalam bahasanya sendiri. Dia bagai perempuan yang tidak ingin lekas dikenali, pemalu, dan ingin menyembunyikan dirinya. Bahasanya adalah sandi x, y, z. Rahasia yang tidak akan dibukanya begitu saja ke orang lain yang akan berkenalan dengannya. Dalam konteks ini, saya pikir untuk belajar matematika seseorang harus mempelajari bahasa yang digunakannya. Seperti saat kita akan belajar tentang negeri asing, kita harus mempelajari bahasa yang digunakan negeri itu.
Matematika itu bukan rumus pasti yang tidak bisa berubah. Matematika itu bahasa seperti manusia bercakap dengan bahasanya masing-masing untuk memberi identitas pada sebuah benda. Dan itu yang tidak pernah aku sadari dan ketahui ketika aku pertama kali berkenalan dengan matematika. Matematika hadir pertama kali dengan indah, kedua kali sebagai hantu tidak menyenangkan, dan ketiga kali sebagai teman yang ingin aku kenali. Sekalipun saya membacanya dengan perasaan yang nyaman seperti ketika saya belajar berhitung dengan lidi, saya masih menyimpan sisa perasaan tidak nyaman yang harus saya tebus hingga habis.
Saya pikir, semua orang akan mendapati proses penerjemahan yang berbeda untuk memahami matematika. Saya baru mampu memahami pola belajar matematika dengan kebutuhan dan daya pikir saya sendiri sekarang, saat saya akan meninggalkan bangku kuliah. Dan itu semua tidak saya peroleh dengan instan. Saya menyadari ada beberapa hal dan orang yang berjasa yang mengarahkan saya menjadi sekarang ini. Secara umum, saya sudah membaca berbagai buku, baik yang ringan ataupun membuat kepala pusing setengah mati. Buku-buku itu yang mengantarkan saya ke dalam penerjemahan yang baik. Secara khusus, seseorang yang adalah guru, kakak, sekaligus sahabat saya yang mendorong saya terus membaca dan membaca dengan benar.
Saya sadar, tidak ada orang yang bodoh di dunia ini. Entah untuk matematika, fisika, biologi, ekonomi, sejarah, ataupun bidang lainnya. Saya menyebut orang seperti itu sebagai orang yang--mengutip istilah Malcolm Gladwell—terlambat panas. Seperti keterlambatan saya dalam memahami matematika.
Sumber: Matematika