Sejarah tidak hanya sekali menggoreskan peran mahasiswa mengawal sebuah perubahan. Sejarah pun mencatat berbagai gelar para mahasiswa: kaum terpelajar, kaum terdidik, kaum intelektual, sang agen perubahan, sang juru selamat. Namun, sejarah pun mencatat, gelar itu kini tinggal sejarah. Mahasiswa yang dulu bergerak, bersuara dengan intelektualitasnya dan cara yang santun, kini anarkis, berwajah garang, tak beretika, bahkan merugikan publik! Jauh dari kata intelektual yang seharusnya disandang para mahasiswa.
Polemik kenaikan harga BBM, kini pun turut menyeret para mahasiswa yang hendak memperjuangkan kaum kecil(?). Mereka berdemostrasi menuntut harga BBM agar tidak naik karena kenaikan harga BBM akan semakin menyudutkan kaum kecil dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun berujar: tolak kenaikan harga BBM!
Mereka berdemonstrasi tak hanya di jalan-jalan ataupun depan gedung pemerintah, melainkan juga dalam bus antarkota! Dengan berbagai kelengkapan di tangan: toa, spanduk, bendera, hingga pembakaran ban dan foto sang presiden. Tak terlupa pula hujatan-makian kepada pemerintah yang telah gagal melindungi rakyat. Mereka menuntut dan menuntut. Sedemikian tingginya tuntutan mereka, hingga membuat mereka lupa bahwa kenaikan harga BBM adalah keniscayaan—cepat atau lambat, kenaikan itu tidak bisa dihindari lagi. Bukan masalah politis ataupun ketidakmampuan Indonesia dalam memproduksi minyak dalam negeri, akan tetapi semakin berkurangnya kemampuan bumi menyediakan kemewahan BBM kepada seluruh umat manusia di dunia. Dua pilihan diantara terlaksananya dan tidak terlaksananya kenaikan harga BBM pasti akan membawa permasalahan yang sama-sama pelik.
Pemandangan mahasiswa berdemonstrasi kini sangat menyedihkan. Mahasiswa hanya melontarkan bola panas, yang memantul ke sana kemari, bahkan tak terlihat satupun diantara mereka yang hendak menangkapnya. Demonstrasi bahkan membuat permasalahan baru: pencemaran lingkungan/polusi (udara, suara).
Hal paling mengherankan adalah mereka pun termasuk pengguna aktif BBM, dengan mengendarai kendaraan pribadi (motor atau mobilnya). Saya tidak mengerti, kenapa mereka tidak membuang saja motor atau mobilnya untuk mengurangi jumlah konsumsi BBM di Indonesia dan beralih ke angkutan umum, bersepeda, atau berjalan kaki? Atau, dibandingkan berdemo kepada pemerintah, kenapa mereka tidak berkampanye untuk penggunaan angkutan umum atau kendaraan yang tidak menggunakan BBM? Kala mereka masih menikmati fasilitas kemewahannya itu, demonstrasi yang mereka lakukan terhadap kenaikan harga BBM bukan sesuatu yang layak diapresiasi.
Seharusnya, biarkan konsumsi BBM langsung kepada pihak atau usaha yang sangat membutuhkannya. Sehingga tidak semua orang dapat mengakses BBM dengan harga murah dan mudah hanya untuk kendaraan pribadi masing-masing. Alih-alih membela kaum kecil, jangan-jangan dibaliknya mereka membela kemewahan fasilitas kendaraan pribadi yang dimilikinya? Duh!
Rupanya, pendidikan tidak membuat mereka menghasilkan pemikiran yang intelek serta gebrakan-gebrakan inovatif untuk membantu mengurai peliknya masalah yang mendera BBM. Pembangunan ketahanan masyarakat terhadap dampak semakin berkurangnya minyak bumi dari tahun ke tahun tidak bisa dilakukan dengan memberikan subsidi BBM secara terus-menerus. Harus disegerakan pemikiran-pemikiran dan gebrakan yang solutif dari para pembaharu, para agen perubahan: mahasiswa! Sayangnya, para mahasiswa pendemo lebih memilih untuk terjebak dalam romantisme kegemilangan (demonstrasi) mahasiswa masa lalu. Mereka telah kehilangan roh terdidik dan inteleknya. Ironis![]
Sumber: dunialala.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H