Lihat ke Halaman Asli

Gema Dering Ponsel di Pedesaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_64387" align="alignleft" width="211" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

PANJALU adalah sebuah kecamatan di pinggiran Kabupaten Ciamis Jawa Barat, untuk menuju ke kota kabupaten kita harus menempuh jarak sekitar 15-20 km. Sebagian besar penduduk di wilayah kecamatan yang terkenal dengan keindahan Situ Lengkongnya ini hidup dari hasil pertanian, perkebunan dan perikanan darat, baik sebagai pemilik lahan maupun sebagai tenaga buruh tani.

Sebagian lainnya yang didominasi oleh kaum muda lebih memilih hidup merantau di kota-kota besar seperti Bandung dan JABODETABEK. Bidang usaha yang digeluti biasanya adalah toko bahan bangunan, bengkel las dan toko barang antik, karena itu agak sulit menemukan pemuda-pemudi usia produktif di desa-desa Panjalu. Di pedesaan yang tinggal umumnya hanya orang-orang tua dan anak-anak usia sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Suasana lengang akan berubah hiruk-pikuk manakala Hari Lebaran dan Nyangku tiba, Nyangku adalah suatu prosesi adat penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Borosngora yang dipercaya sebagai penyebar Islam dan leluhur orang Panjalu Ciamis, upacara ini diselengarakan pada setiap bulan Mulud atau Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saat hari Lebaran dan Nyangku tiba, para perantau ini secara serempak pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan kedua hari besar itu sekaligus bertemu melepas rindu dengan anggota keluarga dan handai taulan.

Meskipun secara geografis terletak jauh dari kota kabupaten bahkan berada di lereng Gunung Sawal, perkembangan penggunaan telepon seluler (ponsel) sepertinya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari di kalangan masyarakat pedesaan ini. Sepuluh tahun yang lalu kita tidak bisa membayangkan bila hampir di setiap rumah atau kepala keluarga penduduk desa-desa di Panjalu sekarang memiliki ponsel sebagai alat komunikasi. Hal ini tentunya tidak lepas dari semakin terjangkaunya harga ponsel disertai penurunan tarif bicara maupun sms yang semakin murah.

HRM Tisna (70), purnawirawan perwira TNI AD memilih menggunakan ponsel sejak dua tahun yang lalu karena telepon rumahnya mengalami gangguan selama berbulan-bulan tanpa ada perbaikan, kabarnya hal ini disebabkan oleh maraknya pencurian kabel telepon oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Sekarang ia tidak berminat untuk menggunakan telepon rumah kembali karena penggunaan ponsel dianggapnya lebih praktis dan nyaman.

Pria tinggi besar berambut perak ini tidak perlu lagi bersusah payah membayar tagihan telepon ke kantor pembayaran telepon di kota setiap bulannya karena secara berkala putera-puterinya yang berada di Jakarta mentransfer sejumlah pulsa ke nomor ponselnya, selain itu orang tua yang kerap disapa Pak Kolonel oleh para tetangganya ini jadi lebih mudah menghubungi dan dihubungi anak-anak dan cucunya kapanpun dan dimanapun ia berada.

Penggunaan ponsel juga ternyata telah merata di semua lapisan masyarakat, Abad (27) seorang pengojek sepeda motor sangat terbantu semenjak menggunakan ponsel tiga tahun yang lalu. Sebelum menggunakan ponsel biasanya ia lebih sering menunggu penumpang di pangkalan ojek, tapi sekarang para pelanggan cukup mengontak nomor ponselnya untuk keperluan jasa ojek sepeda motornya, oleh karena itu pria berambut cepak ini tidak harus terlalu sering atau berlama-lama nongkrong di pangkalan ojek.

Tentunya hal ini didukung oleh sikapnya yang jujur, sopan dan rajin, ia juga tidak pernah mematok tarif jasa transportasinya, kadang-kadang pelanggannya bahkan ada yang menunda pembayaran alias berhutang padanya, tapi karena sikapnya itu, Abad menjadi favorit bagi para pengguna jasa ojek sepeda motor.

"Setiap hari saya paling sedikit harus membawa uang ke rumah tiga puluh sampai lima puluh ribu rupiah", ujarnya, "yang penting ada buat keperluan dapur dan mencicil sepeda motor", tambah ayah dua anak ini. Tetapi sepertinya usaha ojek sepeda motornya itu berjalan dengan lancar, sebagai bukti di samping rumahnya terparkir dua unit sepeda motor. "Yang satu ini sudah lunas", tukasnya sembari menunjuk sepeda motor lamanya.

Lain halnya dengan Hj Siti Fatimah (70) yang kerap disapa Bu Haji, dengan adanya ponsel ia bisa lebih mudah menjual hasil kebunnya seperti kelapa, alpukat, kayu albasiah, cengkeh dan lain-lain kepada para pembeli atau pengepul. Ia juga bisa lebih mudah memanggil Mantri Kesehatan yang bertugas di Puskesmas untuk memeriksa tekanan darah dan kadar gulanya secara berkala karena semenjak terkena serangan stroke ia tidak dapat bepergian jauh dari rumahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline