Lihat ke Halaman Asli

Data Stunting dan Kemiskinan Indonesia Sama-sama Beda

Diperbarui: 8 Oktober 2018   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan Emas


Belum lama ini Kementerian Kesehatan Indonesia merilis hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016. Disebutkan bahwa sebanyak 27,5 persen bayi usia di bawah lima tahun (Balita) mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar/pendek). Jumlah tersebut terdiri dari 8,5 persen berstatus tinggi badan sangat pendek, dan 19 persen pendek. World Health Organization (WHO) telah menetapkan standarnya, bahwa suatu wilayah mengalami masalah kekurangan gizi kronis jika prevalensinya di atas 20 persen.

WHO sendiri sudah melaporkan hasil pantauan status gizi di Indonesia lebih dulu, yang berbeda dengan hasil pantauan Kementerian Kesehatan. Badan PBB yang membidangi masalah kesehatan itu menyebutkan bahwa 7,8 juta dari 23 juta anak, atau 35,6 persen dari total populasi balita Indonesia adalah penderita stunting. Sebanyak 18,5 persen berkategori sangat pendek dan 17,1 persen pendek. WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.

Laporan Bank Dunia tahun ini juga menyebutkan angka stunting di Indonesia lebih tinggi lagi, yaitu 37,2 persen. Fakta ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 tertinggi pengidap stunting di dunia. Laporan itu juga menyebut 19,6 persen balita (atau setara 4,4 juta) berberat badan rendah sebagai akibat malnutrisi. Satu dari tiga balita Indonesia adalah pengidap stunting.

Bayi stunting kebanyakan lahir dari keluarga miskin. Semakin merebak kemiskinan di suatu negara semakin tinggi pula angka stunting. Seribu hari pertama (sejak dalam kandungan hingga berusia dua tahun) setiap bayi memasuki usia emas bagi pertumbuhannya. Upaya mendapatkan asupan gizi yang baik dan mencukupi tentu saja sangat tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga.

Keluarga miskin, kebanyakan bukan tidak mengerti dan tidak mau mencukupi kebutuhan gizinya, melainkan tidak mampu. Anak-anak yang seharusnya menjadi harapan Indonesia untuk masa depan mengalami kekurangan gizi sejak usia paling dini. Pemerintah lebih suka menempatkan masalah stunting ini bersifat kasuistik, tidak holistik dan sistemik, karena jika problemnya bersifat sistemik akan berdampak pada citra pemeritnah sendiri.

Awal tahun ini informasi dari pemerintah tentang kemiskinan seharusnya mengundang rasa senang masyarakat, tapi nyatanya malah memunculkan keheranan publik. Berdasarkan data yang dihimpun BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2018 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,95 juta orang (9,82 persen). Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 633,2 ribu orang, dari yang sebelumnya tercatat sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen) pada September 2017. Sepenuh kebanggaan pemerintahan sekarang menyatakan, bahwa pemerintahan sebelumnya di Indonesia tak pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10 persen dari seluruh penduduk.

Selidik punya selidik, perhitungan angka kemiskinan di Indonesia itu menurun bukan lantaran jumlah orang miskin itu sendiri yang menurun karena ada 633,2 ribu orang yang meningkat taraf hidupnya, melainkan karena standar kemiskinan di Indoneisa yang lebih rendah dibandingkan standar internasional. Pendapatan minimum masyarakat dikatakan memenuhi standar hidup nasional jika mencapai angka Rp 401.220/kapita/bulan. Bandingkan dengan pendapatan minimum garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu sebesar USD 1,9 per hari atau setara Rp 865.260 per bulan (kurs sekarang 15.180 per dolar Amerika). Sungguh jomplang. Karena jika standar Bank Dunia itu yang dipakai maka jumlah orang miskin di Indonesia lebih dari 70 juta orang.

Jika garis kemiskinan nasional Rp 401.220/kapita/bulan dan rata-rata setiap satu rumah tangga miskin memiliki 4,59 anggota keluarga, maka pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi standar hidup mencapai Rp 1,84 juta/rumah tangga miskin/bulan. Jika kurang dari angka tersebut maka masuk kategori keluarga miskin.

Sebagai perbandingan, garis kemiskinan di DKI Jakarta mencapai Rp 593.108/kapita/bulan maka pengeluaran keluarga miskin di Ibu Kota mencapai Rp 3,08 juta/bulan. Sementara garis kemiskinan di Nusa Tenggara Timur Rp 354.898/kapita/bulan maka garis kemiskinan rumah tangga miskin di daerah tersebut mencapai Rp 2,12 juta/bulan. Data-data berikut contoh-contoh itu tidak simetris dengan kesulitan hidup sehari-hari yang dialami masayarakat juga tidak sesuai dengan fakta tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia.

Akhirnya harus ditegaskan bahwa stunting karena gizi buruk harus dipahami sebagai masalah sistemik. Kebiasaan pemerintah yang cenderung menggap masalah ini bersifat kasuistik harus segera dihentikan. Kita tidak bisa berharap pemerintah, yang lebih suka akrobat statistik, seperti dalam laporannya mengenai stunting dan angka kemiskinan di Indonesia, bisa melakukan terobosan mendasar untuk menyelamatkan generasi emas Indonesia. Kita harus mencari kekuatan di dalam masayarakat sendiri dengan merintis suatu gerakan penyelamatan generasi emas Indonesia.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline