Bagaimana tidak, semua jawaban dari Cagub Edy maupun Cawagub Ijeck ngawur dan mengawang. Nyaris tidak ada penjelasan yang bersifat operasional, retorikanya kosong makna, kerap tidak nyambung dan tendensius. Dengan gaya yang membosankan, Edy menempatkan pendekatan 'keamanan' di atas segalanya, termasuk ketika debat menyoal masalah perizinan dan investasi.
Cagub Djarot menjelaskan, bahwa akar masalah penegakan hukum dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) adalah kemiskinan. Itu sebabnya ia menganggap penting pendekatan sistemik dalam meningkatkan kesejahteraan. Izin usaha dan investasi harus mudah dan transparan, karena dari situlah roda ekonomi mulai bergerak. Jika roda ekonomi bergerak, lapangan kerja bertambah, masyarakat bisa bekerja dan berpenghasilan, muaranya adalah terciptanya kesejahteraan. Dan kesejahteraan lebih bisa mengurangi pelanggaran hukum dan HAM daripada tindakan represif.
Cagub Edy justru percaya pada tindakan represif itu. Menurutnya pendekatan keamananlah yang harus dikedepankan. Ini tidak mengherankan mengingat latar belakang militer Edy. Sebagai seorang tentara, Edy tidak menguasai banyak pendekatan dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan daerah. Yang dipahaminya adalah memerintah dan diperintah ala tentara.
Ia cenderung kaku, tidak kreatif, dan militeristik. Ini berbahaya untuk pemerintahan Provinsi Sumut di alam demokrasi, yang menuntut gaya kepemimpinan yang terbuka dan partisipatif.
Kedangkalan pemahaman Edy -- Ijeck semakin terlihat pada saat debat memasuki segmen tanya-jawab. Sebagai pandauan, moderator memperlihatkan gambar untuk dipahami oleh kedua pasangan. Djarot -- Sihar menangkap pesan di balik gambar itu dengan tepat. Gambar itu jelas meperlihatkan telah terjadi korupsi yang lazim disebut sebagai korupsi berjamaah. "Hakim disuap, anggota DPRD disuap, dana Bantuan Sosial diahambur-hamburkan," jelas Djarot.
Mungkin karena tahu bahwa Ijeck, cawagubnya--langsung maupun tidak langsung--terlibat dalam kasus korupsi di lingkungan pemerintahan dan DPRD Sumut, Edy langsung bersikap defensif. Semua orang tahu, bahwa yang disebut pihak ketiga dalam kasus suap DPRD Sumut adalah Ijeck, dalam kapasitasnya sebagai pengusaha, yang meminjamkan sejumlah uang untuk Pemprov Sumut, padahal itu jelas-jelas melanggar peraturan tata kelola pemerintahan yang baik.
Edy kemudian menyangkal bahwa kasus itu sudah lewat, dan tak usah dibahas lagi. Sementara ia sendiri menyebut-nyebut soal yang sudah berlalu lebih jauh lagi, yaitu tentang bantuan sembako untuk orang miskin. Setelah itu Edy berkhotbah, yakinlah masyarakat Sumut begini, masyarakat Sumut begitu, dan menyebutpula soal keimanan.
Tanggapan Ijeck lebih ngawur, ketika ia membuka statement-nya dengan menyebut, "Seandainya pak Djarot tinggal lebih lama di Sumut, tentulah akan mengerti duduk persoalannya."
Apa maksudnya? Bukankah KPK tidak tinggal di Sumut? Tapi KPK sanggup mengungkap tindak pidana korupsi itu, bukan? "Untuk memahami korupsi di Sumut, saya tidak perlu tinggal lebih lama di sini," jawab Djarot.
Ada perbedaan yang sangat tegas dalam soal korupsi di lingkungan Pemprov dan DPRD Sumut. Edy -- Ijeck ingin persoalan itu dianggap sebagai biasa-biasa saja. Sementara Djarot -- Sihar menilainya sangat penting. Menurut Djarot korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, selain melanggar hukum, jelas melanggar HAM. Pasalnya APBD itu seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan bukan untuk dinikmati oleh kelompok tertentu saja.
Ketidakpahaman Edy sebenarnya sudah terlihat dalam segemen sebelumnya, ketika menyoal kebijakan pertanahan. Edy menyinggung soal reformasi agraria. Ia menyebut azas-azas penegakan hukum, yang tampaknya, tidak ia pahami secara mendalam. Edy bersikap defensif lagi dengan mengungkap masalah tanah senketa yang melibatkan Kodam. Edy juga tidak tahu, atau berusaha menutup-nutupi, bahwa praktik mafia tanah dalam kadar tertentu banyak melibatkan pengusaha-pengusaha lokal.