Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Rentan dan Telanjang

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Informasi adalah pengetahuan. Informasi juga kekuasaan. Siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa dunia sesungguhnya. Informasi tentang nusantara lama yang dicatat oleh para petualang lewat buku perjalanan dan novel-novel telah mengundang bangsa-bangsa Eropa untuk datang ke nusantara. Kajian para orientalis, kemudian Indonesianist (ahli masalah Indonesia) tentang nusantara, laporan ilmiah tentang alam dan manusianya, memungkinkan mereka menjajah Indonesia beratus tahun lamanya. Cerita bangsa-bangsa asing yang terus berusaha menguasai Indonesia belum berhenti meski Indonesia sudah merdeka 67 tahun lamanya. Dan semuanya dimulai dari penyerapan informasi sebanyak mungkin tentang Indnesia.

Fenomena ledakan informasi di Indonesia yang terjadi sejak 1998 adalah lanjutan dari cerita nusantara lama itu. Informasi tentang Indonesia terus mengalir ke negara-negara yang berminat menguasai Indonesia. Berbeda dengan zaman dahulu, negara-negara asing yang ingin menguasai--atau paling tidak--ingin mengambil keuntungan dari Indonesia, tidak perlu lagi mengirim para Indonesianist untuk melakukan kajian, kemudian melaporkan hasil penelitiannya kepada para pengambil keputusan di negara mereka. Indonesia sekarang sudah menjadi ‘rumah kaca’ yang bisa diamati setiap saat, setiap waktu, lewat layar komputer dari negeri-negeri jauh. Indonesia sudah menceritakan dirinya sendiri kepada dunia. Sampai nyaris tidak ada lagi rahasia yang tersisa.

Informasi tentang Indonesia sekarang sudah tersimpan dalam data-data digital. Terhubung dengan jaringan internet yang semakin menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan cara ini, Indonesia sesungguhnya sudah memasuki wilayah ancaman secara terbuka, akibat integrasinya dalam sistem jaringan informasi internasional.

Dalam kurun dua dekade terakhir, mudah bagi negara dan korporasi besar manapun di dunia untuk mengetahui berapa jumlah transaksi perbankan yang terjadi di Indonesia setiap hari. Ke mana atau kepada pihak mana saja uang negara yang diproduksi Bank Indonesia itu mengalir. Mudah juga mereka mengetahui rencana-rencana kenegaraan yang paling strategis berikut peta kekayaan alam Indonesia. Di mana kekayaan itu berada, bagaimana mengeksploitasinya, sekaligus bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sepanjang informasinya tersimpan dalam data-data digital.

Adalah kenyataan bahwa bank-bank dan Kementerian/Lembaga pemerintahan di Indonesia sama sekali belum melakukan perlindungan terhadap informasi penting yang mereka produksi setiap hari. Surat-surat elektronik, laporan transaksi keuangan, data nasabah setiap bank, dan rencana-rencana strategis pada hampir seluruh departemen pemerintahan yang terdigitalisasi, mudah saja diakses lewat jaringan internet. Indonesia kemudian menjadi sangat terbuka pada setiap aspeknya. Dan semuanya bermula dari ketiadaan perlindungan yang baik terhadap informasi. Singkatnya, Indonesia di era informasi sangat telanjang, rentan, mudah diintervensi dan dieksploitasi.

Tidakkah para pejabat tinggi di negara ini, yang saling bertukar informasi strategis lewat surat elektronik, aman sepenuhnya dari pantauan pihak lain? Bagaimana dengan pesan-pesan singkat yang berseliweran setiap saat dari dan ke telepon genggam para petinggi negeri ini? Sudah amankah sepenuhnya? Kita tahu bahwa pada umumnya tidak ada pengamanan sama sekali terhadap semua informasi itu.

Digitalisasi informasi secara nasional menyaratkan server berkapasitas besar. Ketiadaannya di Indonesia mengharuskan kita menggunakan server yang berbasis di luar negeri. Hosting .us, berartiserver itu berada di Amerika; .co, berarti berada di Columbia; .uk, berarti berada di Inggris; hanya .co.id yang berada di Indonesia. Siapakah yang bisa menjamin bahwa pemakaian server di luar negeri itu aman sepenuhnya? Tidakkah negara pemilik server itu bisa ikut mengamati lalu-lintas informasi yang melewati dan kemudian tersimpan di dalamnya? Bukankah jika ingin mengetahui segala hal tentang Indonesia cukup dengan mengakses server-server itu saja?

Global Internet Map 2012 memerlihatkan sebagian bersar traffic internet melalui server dikuasai oleh Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Server di Eropa menyerap traffic 40.648 Gbps; Amerika dan Canada 16.646 Gbps; Asia Pasifik 9.571 Gbps; Amerika Latin 5.051 Gbps; seluruh Afrika 571 Gbps;

Negara Indonesia dengan segala otoritasnya tentu saja yang paling bertanggung jawab dalam pengamanan informasi penting, rahasia, dan strategis ini. Diperlukan undang-undang untuk menjamin kepastian hukumnya. Pemerintah bisa memaksimalkan peran Lembaga Sandi Negara. Lembaga ini memiliki kompetensi dalam menerapkan pengamanan informasi melalui teknologi kriptografi. Seluruh informasi yang dikirimkan antar penyelenggara negara, pemerintah, antar departemen, perbankan, sampai ke pertahanan militer, bisa diamankan dengan teknologi kriptografi Lembaga Sandi Negara.

Kerja sama antara Lembaga Sandi Negara dan Kementerian Dalam Negeri dalam mengamankan data warga negara yang terdigitalisasi dalam e-KTP adalah langkah awal yang patut diikuti oleh Kementerian/Lembaga lainnya. Bank-bank pemerintah maupun swasta, perusahaan negara maupun swasta, perlu pula meningkatkan kesadarannya akan pengamanan informasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingannya, terutama warga negara Indonesia. Semua lembaga yang melibatkan hajat hidup orang banyak layak mempertimbangkan untuk melibatkan Lembaga Sandi Negara dalam pengamanan informasinya.

Kebijakan keterbukaan informasi Indonesia yang tidak jelas betul sampai mana batasannya ini seharusnya menjadi kecemasan setiap orang Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia memang sudah sanggup memblokir ribuan situs porno dalam jaringan internet di Indonesia. Ini sikap defensif. Lalu bagaiamana dengan 30 juta lebih akun twitter? Atau 43 juta lebih akun facebook? Di sana juga tersimpan data-data pribadi orang Indonesia. Sudahkan semua informasi itu terproteksi?

Indonesia adalah negara ketiga terbanyak pengguna kedua jejaring sosial itu. Dengan itu saja negara manapun bisa mengamati kecenderungan umum orang Indonesia. Tanpa ada yang meminta, para pengguna kedua jejaring sosial itu sudah menyediakan diri secara suka rela untuk diamati, diteliti, dikelompokkan menurut kategori kepentingan siapapun yang ingin mengambil keuntungan dari data-data pribadi orang Indonesia. Apakah negara peduli? Atau malah para pejabatnya ikut pula bersibuk ria lewat ‘kicauan’ mereka di twitter atau menggonta-ganti status mereka dalam ‘buku tampang’?

Masih terang dalam ingatan kita, begitu lama Indonesia menyandang status sebagai negara yang tertinggal secara ekonomi. Kerja keras generasi kita sanggup menempatkan Indonesia ke dalam jajaran 20 negara penting secara ekonomi dalam G-20 sekarang. Tapi kita masih menyandang predikat tertinggal di bidang lain, yang jauh lebih penting, yakni perlindungan terhadap informasi-informasi strategis yang selayaknya menjadi rahasia, dari kemungkinan pemanfaatan oleh pihak-pihak yang secara diam-diam ingin mengambil keuntungan dari Indonesia, hingga Indonesia terus merugi tanpa terasa.

Pemerintah perlu memertimbangan keterlibatan Lembaga Sandi Negara lebih jauh lagi demi melindungi informasi penting dan rahasia di Indonesia. LEMSANEG seharusnya bisa berdiri paling depan dalam menjaga kedaulatan informasi Indonesia di era ledakan informasi dunia sekarang ini. Tujuannya adalah demi memenuhi hak warga negara akan keamanan informasinya. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline