Lihat ke Halaman Asli

Mengurai Calon-calon Pemimpin Jakarta: Harapan Sesungguhnya Sudah Terbersit Sejak Mei ’98 (Bagian-3 dari 5 Tulisan)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terima kasih untuk kompasianer yang telah memberikan komentar dan masukan. Banyak yang tidak menyampaikannya secara terbuka, dan lebih suka mengirimkannya secara pribadi, menandainya sebagai rahasia. Terbanyak adalah komentar, kritik, bahkan tambahan data-data (teks maupun gambar) terhadap dua tulisan soal “Mengurai Calon-Calon Pemimpin Jakarta.” Semuanya sungguh berharga. Semakin mendekatkan saya terhadap realitas dinamika politik Jakarta yang sedang saya amati.

Mulanya, saya termasuk orang yang kerap dibuat merasa ‘jijik’ oleh segala berita politik, terutama tingkah para aktor dan elit politiknya. Namun kemudian sadar, bahwa tidak ada manusia modern yang tidak terhubung dengan relasi politik. Negara ini, adalah hasil dari sebuah proses sejarah politik Indonesia yang panjang dan berliku. Ada ketegangan dan konflik berdarah-darah selama menempuhnya. Politik, begitu dekat dengan setiap pribadi, ada dalam dompet saya, wujudnya demikian jelas, Kartu Tanda Penduduk (KTP), juga pada setiap lembaran uang kertas yang menandai keberadaan negara Indonesia, negara yang berdaulat ini. Politik, ada di mana-mana.

Sekarang saya bisa menerima pernyataan ekstrem dari seorang kawan kompasianer, ‘Politik itu ibarat oksigen yang harus kita hirup setiap saat. Membayangkan hidup tanpa politik, seperti membayangkan kehidupan tanpa hidup itu sendiri. Setiap pribadi adalah zoon politikon. Ini saja sudah menjelaskan segalanya. Politik ada dalam setiap keberadaan manusia. Menyangkal politik, sama dengan menyangkal kemanusiaan itu sendiri.’

Baiklah...., saya setuju! Dan inilah lanjutan tulisan ke-3 dari 5 tulisan yang saya rencanakan, sebagai hasil bacaan terhadap perpolitikan DKI Jakarta kiwari. Tentu saja tulisan ini disusun setelah mendapat tambahan data dari kawan-kawan kompasianer dan sumber-sumber lain.

..........

“Siapa lagi rujukan terhebat untuk Gubernur Jakarta ini selain Ali Sadikin?” tulis seorang kompasianer yang pesannya masuk ke inbox saya. “Siapapun tidak bisa mencontohnya selain dia yang punya didikan marinir,” tulis yang lain. “Jakarta adalah perkara serius. Tidak bisa diserahkan kendalinya kepada calon pemimpin asal-asalan. Mereka yang tidak memiliki karakter dan sikap yang jelas, tidak menguasai problematika Jakarta secara benar, apalagi yang tidak mempunyai visi ke depan yang terang, jangan pernah diberi tempat. Kita berkuasa untuk menyingkirkan mereka.”

Kata ‘marinir’, mengingatkan saya pada tulisan sebelumnya. Ali Sadikin adalah seorang Marinir. Dan hanya ada satu orang marinir berpangkat Letnan Jenderal di antara enam pasangan calon gubernur dan wakli gubernur Jakarta sekarang. Pangkat yang sama dengan Ali Sadikin. Karena marinir orang laut, karena Jakarta kota pelabuhan, karena Indonesia negeri kelautan, maka itulah alasan Sukarno mengangkat Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta Raya pada tahu 1966.

Dengan kata-katanya sendiri, Sukarno berucap dalam pidato pelantikan Ali Sadikin seperti ini: “Apa sebab saya pilih seorang Angkatan Laut.....? Karena Jakarta ini adalah kota pelabuhan. Sebaiknya saya jadikan gubernur daripada Jakarta satu orang yang tahu urusan laut, tahu urusan pelabuhan...! Di Jakarta berkumpul semua diplomaten. Saya minta supaya gubernur bisa menghadapi bahkan meladeni diplomaten corps di sini. Saya cari-cari orang; wah, baiknya Ali Sadikin.”

Dan Ali Sadikin pun mulai bekerja. Pertama-tama, dia pelajari medan. Mulai memhami kelemahan birokrasi pemerintahan, segala hambatannya, lalu menetapkan target-target dan tujuan-tujuan strategis serta peluang-peluang yang ada. Terus bergerak ke depan. Menjebol got-got yang mampet. Menegurkeras orang-orang yang sembarangan membuang sampah. Memancangkan tonggak-tonggak pembangunan Jakarta yang menjangkau masa depan dengan karakternya sendiri, dengan jiwa patriotisnya sendiri yang khas ‘orang laut’, seorang marinir. Hingga jadilah Jakarta sebagai kota yang benar-benar layak menjadi sebuah Ibu Kota. Dipandang oleh kota-kota besar lain di seluruh dunia. “Dikagumi oleh bintang-bintang di langit,” ujar Sukarno, “Karena Jakarta, Ibu Kota Indonesia.”

Ali Sadikin kemudian jadi legenda Jakarta dan contoh keberhasilan seorang pemimpin ibu kota. Dia berhasil bukan hanya karena karakter patriotisnya, melainkan juga karena dia menjalani tugas yang selaras dengan takdir bangsanya sendiri. Bangsa Indonesa. Bangsa pelaut. Yang sangat menghargai daratan (tanah) sejak dia menjejekkan kakinya di pantai. Kontras dengan ‘orang darat’ yang ternyata telah memadamkan semangat kelautan yang dikobarkan oleh Ali Sadikin, sejak gubernur legendaris Jakarta Raya ini, mengakhiri jabatannya. Setelah era Ali Sadikin, Jakarta dipimpin oleh orang-orang darat. Lebih spesifik lagi, Angkatan Darat, yang secara nasional juga pernah menguasai nusantara. Itulah tiga dekade era Orde Baru. Era pengingkaran bangsa Indonesia akan takdirnya sendiri sebagai bangsa pelaut.

Buka lagi lembaran sejarah kepemimpinan ibukota dengan saksama. Seluruh gubernur pengganti Ali Sadikin adalah orang-orang darat; Letjen. Purn. Tjokropranolo (1977-1982), pernah menjadi pengawal Jenderal Sudirman, kemudian meniti karir militernya dengan bergabung dalam Corps Polisi Militer; R. Soeprapto (1982-1987) lulusan Sekolah Komando Angkatan Darat (1964); Letjen. TNI (Purn.) Wiyogo Atmodarminto (1987-1992), jelas Angkatan Darat. Dia bersama Soeharto terlibat dalam Serangan Umum Sebelas Maret. Dia juga yang membersihkan Jakarta dari becak-becak; Letjen. TNI (HOR) Soerjadi Soedirdja (1992-1997); dan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso (1997-2007); semuanya Perwira TNI Angkatan Darat.

Gubernur sekarang, Fauzi Bowo, memang bukan dari militer. Tapi jelas mengalir dalam dirinya sifat orang darat yang kental. Bukankah dia anak tuan tanah di Jakarta? Jika sampai dia berkuasa lagi, berarti seluruh warga Jakarta masih ingin melanjutkan pengingkaran terhadap takdir bangsanya sendiri, tetap bercokol dengan pikiran sempit, sambil terus memunggungi lautan. Inward looking.

Mei Kelabu ’98, sebenarnya membersitkan sedikit cahaya terang. Ia memang jadi penanda berakhirnya era Orde Baru di Indonesia, tapi belum memusnahkan mentalitas orang darat di Jakarta. Sutiyoso masih terus berkuasa sampai tahun 2007. Diteruskan oleh Fauzi Bowo, wakilnya, yang anak tuan tanah itu. Dan lihatlah, apa yang terjadi terhadap Jakarta selama ini. Kita semua sudah sama-sama mafhum. Tentang Banjir dan macet. Tentang mal-mal dan pemukiman kumuh. Tentang pusat-pusat kebudayaan yang ditelantarkan.

Kini kita boleh berharap terjadinya perubahan. Tanda-tanda sesungguhnya sudah terlihat sejak Mei ’98. Sebersit cahaya pada Mei Kelabu ‘98 itu adalah pribadi seorang Marinir TNI Angkatan Laut. Dia Komandan Satuan Armada Barat berpangkat Kolonel kala itu. Nono Sampono. Dia seorang patriot yang taat perintah atasan, cepat memahami situasi dan tepat mengambil tindakan. Beginilah kisahnya pada hari-hari genting Mei Kelabu ’98 di Jakarta. Ikuti saja ceritanya, apakah kita bisa menggantungkan harapan kepadanya untuk memimpin Jakarta.

12 Mei 98. Dia belum jauh bergerak meninggalkan daerah Jonggol bersama pasukannya, setelah mengikuti acara pemanfaatan lahan tidur milik TNI AL di sana bersama KASAL Laksamana Arif Kusharyadi dan Panglima Armada Barat Achmad Mudjito. Kolonel Marinir Nono Sampono mendapat telepon dari Pangarmabar yang sudah tiba di atas Jakarta bersama KASAL. Kolonel Nono Sampono mendapat perintah memercepat gerakan pasukan ke arah markas Armabar dan segera melakukan konsolidasi. “Banyak titik api berserakan di Jakarta,” ujar Panglima Armada Barat dari ujung telepon dalam helikopter yang ditumpanginya.

Apa daya. Pergerakan pasukan tidak bisa juga dipercepat. Cibubur macet. Masuk jalan tol, juga macet. Perjalanan menuju Gunung Sahari dari Cibubur, di mana Markas Armada Barat berada, harus ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Kolonel Nono Sampono sudah memerintahkan seluruh pasukannya untuk melakukan apel luar biasa di Markas ketika dia dan pasukannya tersendat di tengah kemacetan.

Jakarta sedang mencekam. Ancaman keamanan sudah dimulai sejak peristiwa 27 Juli 1997. Eskalasinya terus meningkat seiring panasnya proses politik. Semua kesatuan TNI yang ada di Jakarta berada di tangan Kodam Jaya, selaku Komandan Operasi di Jakara, sudah memiliki konsep membantu pengamanan yang menjadi tanggung jawab POLRI. Waktu itu TNI memang masih bertanggung jawab terhadap keamanan.

Armada Barat, terdiri dari dua Batalyon Marinir. Pertama, Satuan Marinir Armada Barat di bawah Pangarmabar. Dan satu batalyon Pasukan Keamanan Pangkalan di bawah Lantamal Jakarta. Armada Barat sudah mengorganisir kekuatan-kekuatan yang siap BKO untuk Kodam Jaya. Untuk Armada Barat, sampai Mei ’98masih dalam posisi standby. Tapi dua Brigade Marinir Cilandak yang langsung di bawah Komandan Marinir sudah in charge. Sementara Kolonel Nono Sampono, Komandan Satuan Marinir Armada Barat, organik di bawah Panglima Armada Barat.

Apel luar biasa berlangsung. Dipimpin oleh Pangarmabar. Panglima memerintahakan pasukan marinir untuk mengamankan kantor-kantor dan asset Angkatan Laut. Di sekitar Gunung Sahari dan rumah-rumah jabatan pimpinan TNI AL. KASAL, WAKASAL dan Asisten yang lebih banyak di Menteng dan sekitarnya.

Kolonel Nono Sampono terjun ke lapangan bersama pasukannya. Dia segera mendispersikan pasukan di tempat-tempat penting. Setelah itu dia sendiri bersama satuan kecil prajurit marinir, terus berpatroli mengamankan jalur ke arah pelabuhan dan tempat-tempat strategis di ibu kota. Terlihat oleh mata Sang Kolonel, Pasar Baru kosong dari pengamanan, Senen dan Glodok, tidak jauh beda. Kerumunan massa secara sporadis sudah mulai terlihat. Sentra-sentra perdagangan di Jakarta terancam penjarahan. Butuh lebih banyak pasukan.

Di Tanjung Priok, Pondok Dayung, beberapa Kapal TNI berlabuh di sana. Atas perintah Panglima, Kolonel Nono Sampono meminta pasukan yang ada di Pondok Dayung untuk turun ke darat, membantu pengamanan ibu kota. Tambahan pasukan itu cukup berarti, bisa memerluas radius pengamanan dari titik-titik asset yang harus diamankan.

13 Mei ’98. Kabar enam mahasiswa Trisakti yang tewas sehari sebelumnya sudah tersiar. Jakarta semakin mencekam. Nono Sampono sudah memonitor. Konsentrasi massa mahasiswa di kampus-kampus UKI, UI-Salemba, Atmajaya, dan Trisakti, semuanya bergerak menuju simbol-simbol kekuasaan. Monas dan sekitar istana atau Gedung DPR yang harus ditempuh melalui Thamrin, Bundaran HI, Sudirman, dan Semanggi. Nono memahami gelombang massa mahasiswa itu memang gerakan mahasiswa menentang Orde Baru. Dia dan pasukannya tidak berusaha mencegahnya, malah mengarahkan gelombang massa itu ke titik-titik yang mereka tuju. Sementara massa yang terkonsentrasi di sentra-sentra perdagangan dan ekonomi, mudah diidentifikasi sebagai massa yang berniat ‘menjarah’.

Itulah sebabnya, kenapa pada tanggal 13 Mei itu, Kolonel Nono Sampono berada di Jalan Sawah Besar, sentra perdagangan dan ekonomi. Menyaksikan kerumunan massa yang sedang berusaha menjebol kantor Bank Danamon. Dia hanya ditemani empat pengawalnya yang masing-masing memegang sebatang rotan. Senjata api harus dilipat dan dikalungkan ke belakang. Karena yang dihadapi ini bukan musuh, melainkan massa yang beringas. Nono Sampono sendiri hanya membawa pistol di pinggang dalam sarung yang tetap terkunci. Di ujung sana, Nono melihat pasukan dari kesatuan lain hanya berdiri saja, seperti menonton segala adegan penjarahan itu. Tidak berbuat apa-apa.

Pintu Bank Danamon jebol. Ratusan orang berhamburan masuk, kemudian menyeret brankas keluar, ke pinggir jalan. Mereka mencoba membongkarnya. Saat itulah Nono Sampono bereaksi. Dia berlari menerobos kerumunan massa. Beberapa orang terlihat sudah mengacung-acung linggis untuk membongkar brankas besi itu.

Linggis yang sudah diacungkan, tertahan di udara. Teriakan beringas pun tertahan. Kolonel Nono Sampono sudah berdiri di atas brankas itu. Seragam marinir dengan baret ungunya terang terlihat.

“Dalam brankas ini bukan uang kalian. Bukan juga uang milik bank. Tapi milik saudara-saudara kalian,” teriaknya sambil menunjuk brankas besi. “Kalian tidak boleh mencurinya!”

Tegang menyeruak di tengah kerumunan itu. Dengan Kolonel Nono Sampono di titik pusatnya. Sorot mata beringas belum juga terlihat memudar dari tatapan orang-orang yang berkerumun menyemut.

Apa yang akan dilakukan seorang Kolonel Marinir dalam situasi itu?

“Jika kalian ingin uang, kalian boleh ambil uang saya,” teriak Kolonel Nono lagi, tanpa terdengar getar gugup sedikitpun dalam nada suaranya. Tangannya segera merogoh saku belakang celana dan mengeluarkan dompetnya. Kolonel Nono ingat persis. Dalam dompet itu hanya ada 37 lembar uang pecahan 50 ribu rupiah. Asalnya 40 lembar. Sudah dipakainya tiga lembar untuk makan dia dan beberapa anggota pasukan yang menemaninya berpatroli. 40 lembar uang itu adalah pemberian Komandannya untuk berjaga-jaga.

Tanpa ragu-ragu, Kolonel Nono Sampono mengambil semua lembaran uang dalam dompetnya itu. Menunjukkannya ke hadapan ratusan pasang mata yang masih beringas. Detik berikutnya, lembaran kertas itu sudah beterbangan ke udara. Sorot mata beringas sirna, berganti keriangan berebut uang yang melayang-layang di udara. Atau tersuruk-suruk memungut uang yang sudah berjatuhan ke atas jalanan.

Para pengawal menangkap isyarat Kolonel Nono. Segera berlompatan mengamankan brankas itu. Sebagain anggota pasukan dari satuan lain, yang sedari tadi menonton saja, ikut membantu. Selamatlah uang dalam brankas miliki Bank Danamon itu.

Itulah peristiwa yang mengawali rangkaian kejadian hari-hari berikutnya. Setiap dia melewati Jalan Sawah Besar, namanya dielu-elukan. Bahkan pada tanggal 14 Mei, massa yang bekerumun di sana sempat melempar-lemparkan tubuh sang Kolonel ke udara. Ekspresi juara. Tapi begitulah Nono Sampono. Saat genting maupun suka cita, dia tetap tenang. Setenang lautan yang mengurung daratan. Itulah jiwa marinir, jiwa orang laut. Yang kontras dengan jiwa orang darat.

Saya mengerti pikiran jenius Bung Karno, ketika mengangkat seorang Marinir menjadi Gubernur Jakarta. Dan Megawati, anak Bung Karno itu, pastilah tidak mengerti duduk perkara Jakarta bagi kebaikan Jakarta sendiri. Dia hanya mengerti rasa tersinggungnya sendiri. Dia tidak ingat bagaimana bapaknya dulu mengangkat pemimpin bagi Jakarta. Dia lebih suka memberikan dukungannya kepada seseorang, yang bukan hanya ‘darat’, melainkan pedalaman. Bukankah Solo itu daerah pedalaman yang sudah mengembangkan adat pedalaman yang lemah? Hingga Mataram, Jawa, dan Nusantara, takluk di bawah kaki kolonial?

Perjuangan melawan kekuasaan, (memang) perjuangan ingatan melawan lupa! (bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline