Lihat ke Halaman Asli

Yudha Prisnanto

Digital Marketing & Pembuat Website

Ayah Ingin Kamu Lebih Baik dari Ayah

Diperbarui: 8 September 2015   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saat ini aku berumur 24 tahun, masih kuliah tahap skripsi yang entah kapan selesainya . Bekerja di salah satu media IT. Kali ini aku akan bercerita pengalamanku tentang menjadi "orang" dari ayahku. Sejak aku kecil aku selalu berdebat dengan ayahku dari tempat menaruh barangku hingga cara merawat rumah, bekerja, belajar, dll.

Aku berasal dari keluarga yang bisa di bilang berkecukupan, ayahku bekerja di salah satu perusahaan swasta. Namun masalah keuangan, ayahku tergolong keras. Teman-temanku banyak memiliki apa yang mereka inginkan dengan meminta pada orang tuanya, berbeda denganku. Di bawah ini sedikitnya menceritakan perjalananku.

 

Pekerjaan pertamaku

Saat itu aku duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4. Setiap hari Jum'at, aku selalu shalat Jum'at di masjid dekat rumah, masjid tersebut cukup besar. Setiap aku shalat di sana aku melihat beberapa anak-anak berdiri di depan rak sepatu yang menyatu dengan pinggiran dinding masjid. Aku tak menghitung berapa jumlah ruang rak sepatu tersebut karena, sangat banyak. Ada 4 tempat di setiap pintu masuknya. Aku bertemu dengan salah satu temanku yang tinggal di luar komplek perumahanku dan ia salah satu dari anak-anak yang menjaga rak sepatu tersebut. Aku menghampirinya untuk menanyakan tentang apa yang ia kerjakan. Ia mengatakan sedang membantu jama'ah untuk menyusun sepatu dan sandal mereka pada tempatnya setelah memasukkan nomor di dalam sepatu dan sandal tersebut. Sehingga setelah selesai shalat jum'at, jamaah memberikan kertas nomor yang diberi saat mereka memberikan sepatu mereka dan temanku langsung mencarikan sepatu atau sandal mereka sesuai nomor yang diterima.

Aku tertarik dan minggu depannya aku mengutarakan keinginanku untuk ikut membantu mereka, ternyata mereka setuju untuk meringankan beban mereka. Notabene mereka yang menjadi pemberi nomor sepatu atau sendal itu dari keluarga kurang mampu dan mereka mendapatkan uang jajan dari upah mereka melakukan pekerjaan tersebut. Setiap pulang shalat jum'at aku mendapatkan Rp 5.000 - Rp 10.000. Pada awalnya aku menolak uang tersebut karena tujuanku ingin membantu mereka dan karena aku senang melakukannya, namun mereka memaksaku untuk menerimanya. Upah yang aku terima itu terasa banyak untukku, pada saat itu. Aku tidak terlalu mengerti apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Sekitar 1 bulan aku membantu mereka, ibuku mendapat kabar dari temannya yang menceritakan kalau ia melihatku memberikan nomor sepatu di masjid saat shalat Jum’at dan akhirnya aku dimarahi habis-habisan oleh ibuku. Tetapi, ayahku yang mengetahui apa yang aku lakukan tidak ikut memarahiku, melainkan mengajakku berbicara setelah aku dimarahi ibu.

 

P = Ayahku

A = Aku

 

P : Kenapa kamu bekerja di sana?

A : Karena aku ingin membantu temanku dan ternyata aku juga dapat uang jajan, salah ya yah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline