Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Menembus Hujan Badai di Puncak Gunung Dempo

Diperbarui: 19 Februari 2021   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokumentasi Pribadi

Sudah satu bulan kami membahas tentang pendakian ke Gunung Dempo. Awalnya hanya aku, Dody dan Agung, dua staff muda di kantorku yang akan melakukan pendakian. 

Namun lama kelamaan anggota terus bertambah hingga berjumlah delapan orang lain, yaitu Fahen, Fanie, Darman, Arga dan Supri. Kesemuanya masih dibawah tiga puluh tahun. Sedangkan aku sudah berumur lima puluh tiga tahun.

Aku membicarakan rencana tersebut kepada istriku, ia sangat tidak mendukung. Yang menjadi sorotannya adalah usiaku yang sudah tidak muda lagi, jalur pendakian yang tak bersahabat. 

Gunung Dempo bukanlah gunung yang memiliki fasilitas wisata seperti kebanyakkan gunung di pulau Jawa. Lebih dari itu, terdengar berita bahwa di puncak Gunung Dempo sedang terjadi hujan badai.

Namun aku bergeming, karena pendakian ini memiliki misi tersendiri, yaitu untuk menancapkan bendera hari ulang tahun BRI yang ke 125 tahun. Ini adalah sejarah baru dalam hidupku,  dalam pikiranku mungkin ini adalah pendakian paling spektakuler. Perdana dan terakhir mengingat usia sudah setengah abad lebih.

Tapi istriku bersikeras melarang, baginya sudah lewat waktuku untuk mendaki gunung, ia menambahkan keangkeran Gunung Dempo, banyak pendaki tak kembali. Banyak pula pertapa yang  meminta tumbal para pendaki. 

Foto: Dokumentasi Pribadi

Belum lagi gangguan makhluk halus, binatang buas seperti macan dan harimau, juga adanya persimpangan jalan menyesatkan yang bisa menggiring pendaki menuju jurang atau sarang penyamun.

Mendengar masukkan tersebut,  aku akhirnya mengatakan bahwa, aku hanya ikut ke Pagaralam saja, sesampai di sana, biarlah mereka yang muda yang mendaki, aku akan berkeliling ke tempat-tempat wisata saja, bukankah masih banyak tempat wisata di Pagaralam yang belum dikunjungi. 

Mendengar alasan tersebut istriku langsung mengizinkan, dan sebagai teman, ia membolehkan Aisyah, anak perempuanku yang baru berumur dua belas tahun ikut serta.

Pada hari Jumat tanggal 4 Desember 2020, selepas Maghrib  berangkatlah kami bersembilan ke Pagaralam dengan mengendarai dua buah mobil. Perjalanan memakan waktu  cukup lama, sekitar tujuh jam lebih. Kami melintasi kota Prabumulih, Muaraenim dan Lahat. 

Sepanjang perjalanan terus berdiskusi dan membahas tentang situasi Gunung Dempo yang khabar terakhir  masih diselimuti kabut, hujan dan badai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline