Sudah satu bulan kami membahas tentang pendakian ke Gunung Dempo. Awalnya hanya aku, Dody dan Agung, dua staff muda di kantorku yang akan melakukan pendakian.
Namun lama kelamaan anggota terus bertambah hingga berjumlah delapan orang lain, yaitu Fahen, Fanie, Darman, Arga dan Supri. Kesemuanya masih dibawah tiga puluh tahun. Sedangkan aku sudah berumur lima puluh tiga tahun.
Aku membicarakan rencana tersebut kepada istriku, ia sangat tidak mendukung. Yang menjadi sorotannya adalah usiaku yang sudah tidak muda lagi, jalur pendakian yang tak bersahabat.
Gunung Dempo bukanlah gunung yang memiliki fasilitas wisata seperti kebanyakkan gunung di pulau Jawa. Lebih dari itu, terdengar berita bahwa di puncak Gunung Dempo sedang terjadi hujan badai.
Namun aku bergeming, karena pendakian ini memiliki misi tersendiri, yaitu untuk menancapkan bendera hari ulang tahun BRI yang ke 125 tahun. Ini adalah sejarah baru dalam hidupku, dalam pikiranku mungkin ini adalah pendakian paling spektakuler. Perdana dan terakhir mengingat usia sudah setengah abad lebih.
Tapi istriku bersikeras melarang, baginya sudah lewat waktuku untuk mendaki gunung, ia menambahkan keangkeran Gunung Dempo, banyak pendaki tak kembali. Banyak pula pertapa yang meminta tumbal para pendaki.
Belum lagi gangguan makhluk halus, binatang buas seperti macan dan harimau, juga adanya persimpangan jalan menyesatkan yang bisa menggiring pendaki menuju jurang atau sarang penyamun.
Mendengar masukkan tersebut, aku akhirnya mengatakan bahwa, aku hanya ikut ke Pagaralam saja, sesampai di sana, biarlah mereka yang muda yang mendaki, aku akan berkeliling ke tempat-tempat wisata saja, bukankah masih banyak tempat wisata di Pagaralam yang belum dikunjungi.
Mendengar alasan tersebut istriku langsung mengizinkan, dan sebagai teman, ia membolehkan Aisyah, anak perempuanku yang baru berumur dua belas tahun ikut serta.
Pada hari Jumat tanggal 4 Desember 2020, selepas Maghrib berangkatlah kami bersembilan ke Pagaralam dengan mengendarai dua buah mobil. Perjalanan memakan waktu cukup lama, sekitar tujuh jam lebih. Kami melintasi kota Prabumulih, Muaraenim dan Lahat.
Sepanjang perjalanan terus berdiskusi dan membahas tentang situasi Gunung Dempo yang khabar terakhir masih diselimuti kabut, hujan dan badai.