Negeri Indonesia tak ada kurangnya. Apalagi kalau berbicara pesona alam, tak harus keluar negeri. Indonesia punya semuanya. Hanya saja masih banyak potensi yang perlu digali dan dikelolah dengan maksimal. Namun bagi pecinta alam sejati, pilihan nuansa asri dan orisinil pasti lebih menantang.
Itulah sebabnya, aku dengan sebelas orang lainnya, yang gagal bercita-cita membentuk team kesebelasan sepak bola, yang kini beralih profesi menjadi pencinta alam, lebih memilih tempat-tempat sulit nan terpencil, selain ingin mendapatkan sensasi yang luar biasa dari ke-Maha Agungan Sang Pencipta, juga ingin menunjukkan pada dunia, bahwa Indonesia sangat berpunya segala rupa.
Kali ini kami menuju bumi Sarolangun, yang menurut khabar dari mulut ke mulut, keindahan alamnya tak kalah dengan wilayah lain di Indonesia Raya. Pilihan jatuh pada Sungai Batang Asai, yang berada di wilayah Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sarolangun, merupakan bumi yang kaya akan tambang padat, seperti batubara, emas, batu koral putih, pasir dan lain-lain.Perjalanan dari Sarolangun menuju Sungai Batang Asai sangat menantang. Ruas jalan yang tanjakkan dan turunannya berkelok menjadi uji nyali tersendiri, baik bagi sopir mobil maupun penumpang di dalamnya. Kami membutuhkan waktu sekitar empat jam tanpa berhenti.
Setelah melewati Desa Lubuk Resam, mulailah bersapa dengan perkebunan penduduk serta hutan liar. Sesekali menjumpai rumah penduduk yang berjarak cukup jauh antara satu dengan lainnya. Ada juga perkampungan Suku Anak Dalam yang rumahnya sudah dibangun layak oleh pemerintah daerah.
Setelah melewati desa Rantau Panjang perjalanan kian ekstem. Jalanan liar dan menggoda, berlapis tanah berselimutkan bebatuan di tepi jurang cukup menaikkan adrenaline. Di beberapa titik terdapat longsoran tanah sehingga jalan menyempit dan licin. Belum lagi adanya pohon tumbang yang menghalangi jalan. Tapi perjuangan harus ke puncaknya, kami tak bergeming untuk terus melanjutkan perjalanan hingga tercapai apa yang kami cari.
Tiba di desa Batin Pangambang sudah pukul dua belas malam. Kami bermalam di rumah salah satu penduduk yang sudah kami hubungi terlebih dahulu. Aku sempat berbincang dengan ibu Ratna, pemilik rumah - sebelum tidur.
Ia tinggal sendirian, karena anak-anaknya sudah merantau ke kota Sarolangun dan Bangko. Ia bercerita bahwa ia mempunyai anak lima, tapi tiga orang lainnya serta sang suami sudah menghadap yang esa, karena penyakit yang sama, jantung.
Menurut Ibu Ratna, penduduk Desa Bathin Pangambang berasal dari suku Jawa Mataram dan beragamakan Islam. Sehari-harinya mereka menyebar di kebun-kebun sehingga desa menjadi sepi. Kebun kopi, karet dan bersawah merupakan sumber pencarian, sebagian bertambang emas secara tradisional.
Sedangkan berternak dan mencari ikan sekedar untuk makan saja, sehingga habitat ikan di Sungai Batang Asai masih terjaga. Mereka juga menanam sayur mayur di pinggiran sawah seperuntukkan melengkapi lauk pauk.
Bahasa Daerah menggunakan Bahasa Melayu, meski logat Jawanya masih kental. Kebanyakkan para remaja setamat SMP melanjutkan sekolah dan kuliah ke kota, alhasil, lulus kuliah tak mau pulang kampung, mereka lebih tertarik bekerja di kota.
Keesokkan pagi, selesai shalat subuh kami bersiap menuju lokasi. Tujuan pertama adalah Bukit Seruling, berjalan kaki sekitar 1 jam dari desa Muara Air Dua. Sepanjang jalan kami bertegur sapa dengan penduduk yang lalu lalang, berkulit sawo matang, memanggul cangkul, menyelipkan pisau di pinggang atau mebawa pakaian kotor ke sungai. Dengan senyum sangat ramah, setiap berjumpa pasti menyapa. Begitu mendengar tujuan kita, tanpa diminta mereka menunjukkan arah.
Sepanjang jalan desa - sudah dicor beton oleh pemerintah, ia mengikuti aliran Sungai Batang Asai. Airnya sangat jernih. Riak air bernyanyi indah di atas dan di sela bebatuan kali. Sungai ini cocok untuk arung jeram.