Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren - Dulmuluk

Diperbarui: 31 Maret 2016   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Episode : Dulmuluk

Kelopak mataku perlahan membuka. Lalu menutup lagi manakala cahaya lampu menusuk bola mataku. Aku masih merasakan perih di sekujur tubuh dan menyadari bahwa aku sedang terbaring di bangsal rumah sakit.

“Tidak ada kamar kosong,” kata Vera menjelaskan keherananku.

Aku memintanya agar dirawat di rumah saja. Semula Vera menolak. Tapi aku berhasil membujuknya dengan mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Vera menemui perawat jaga dan mendapatkan izin untuk pulang, dengan alasan kalau sudah ada kamar kosong maka aku akan kembali dirawat di rumah sakit.

Setiba di rumah  kuutarakan niatku untuk pulang ke Palembang. Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak pulang. Aku rindu menyapa orang tuaku. Terutama Ibu. Rindu dengan adik-adikku yang entah bagaimana nasib mereka sepeninggalanku. Juga teman-teman sepermainanku yang mungkin kulit tubuhnya telah dikunjungi keriput. Ah…. Sebagai lelaki sejati aku harus berani pulang, apalagi untuk menjenguk ibu yang dalam bayanganku sedang termenung memikirkan keberadaanku. 

Awalnya Vera bersikeras melarang, melihat kondisiku yang masih sakit. Namun ia luluh juga manakala kusampaikan  ia boleh menemaniku. Ia pun sigap mempersiapkan pakaian dan oleh-oleh kampung yang akan dibawa. Menurutnya, buah tangan itu perlu jika berkunjung ke rumah orang, apalagi  orang tua. Selain pengaruhnya besar untuk mendekatkan emosi kekerabatan. Juga kedatangan kita akan sangat dihargai, meskipun nilainya tak seberapa.

Apalagi perkawinanku dengan Vera belum diketahui oleh keluargaku. Saat menikah aku beralasan bahwa mereka sudah sepuh sehingga tidak bisa berjalan jauh. Sehingga Pak Haji Husin dan para penghuni pesantren lainnya memaklumi. Sementara Vera menunjuk Wali Hakim sebagai wali pernikahan kami.

“Assalamualaikum.” Ucapku mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk.

Aku berada di bilah tangga paling atas. Tangganya langsung ke pintu masuk. Rumah itu tidak memiliki garang yang biasa terdapat pada rumah papan. Sedangkan Vera menunggu di halaman. Ia memandangi bunga yang ditanam pada pot kaleng bekas cat tersusun menuju anak tangga. Senyumnya sumringah mendapati serumpun mawar memekarkan bunga merah menjulang.

“Waalaikumsalam.” Kudengar sahutan menuju pintu.

Seorang lelaki tua menatapku ramah. Namun sekejab kemudian wajahnya berubah. Ia tak menunjukkan gairah, hanya mempersilahkan masuk dan kemudian duduk di lantai dengan menyilakan kakinya. Melihat itu, aku tak tahan. Kutubruk tubuh tua itu, lalu bersimpuh di kakinya sambil menangis sesegukan. Air mataku menggenangi sewet yang ia kenakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline