Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren – Ternyata Arman?

Diperbarui: 29 Maret 2016   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Episode : Ternyata Arman?

Tidak mudah menjadi seorang pelarian. Sebab berkali-kali harus berbohong. Berkali-kali pula bersembunyi di balik nama samaran. Bernegosiasi dengan kebatilan untuk menutupi kebatilan lainnya. Aku, yang saat ini menjadi Faisal, tak pernah menyebutkan nama asliku pada siapa pun.

Pun tak mudah menjadi orang alim. Lantaran riak gelombang kehidupan selalu minta ditentukan. Apakah akan berlanjut atau habis hingga danau mengering.

Namun demikian, menjadi orang lain tidaklah lebih mudah daripada menjadi diri sendiri. Walaupun sebaliknya menjadi diri sendiri juga lebih susah dibandingkan menjadi orang lain.  Ketika jiwa tak seirama dengan raga, ketika perbuatan tak senada dengan hati, ketika itu pula benturan-benturan sebagai manusia tak terpadukan. Orang-orang akan mencibir, juga menjadi perbincangan di warung-warung kopi ataupun di gerobak sayur.

Bertahun-tahun menjalankan kebaikan. Setelah bertahun-tahun keluar dari kebobrokkan. Tetap saja nasibnya serupa. Masih menuai kebencian dan kehinaan. Arman, pemuda yang menjadi pendamping hidup Aisyah, tak henti-hentinya menyelidikiku. Ia selalu curiga dengan setiap gerak gerikku. Bahkan kudengar ia mencari informasi sampai ke Palembang.

Kudengar ia bertambah marah ketika aku menikahi Vera. Aku dibuatnya seperti binatang haram yang dikoarkannya kemana-mana. Aku sudah sering mendengar ejekkan-ejekkan, bahkan langsung dari mulut Arman sendiri. Bukankah dia seorang ustad yang sudah dikader oleh Pak Haji Husin? Bahkan ia menjadi manusia terpuji karena sering mengganti imam shalat hingga mewakili Pak Haji sebagai dai.

Namun dunia mudah terbalik. Suatu ketika aku memergoki Arman terisak. Raganya terhempas terjangan badai prahara rumah tangga. Ia berlari menghindar dari lumpur yang ditamparkan Aisyah ke mukanya. Tangisnya pelan seperti sungai mengalir.

“Aisyah belum bisa mencintaku,” katanya.

“Kau harus bersabar,” nasehatku yang seharusnya kutujukan juga pada diriku sendiri.

“Semua gara-gara kau, Faisal!” Teriak Arman menyalahkanku.

“Arman! Kehidupan kita masih rumit. Kita masih menyulam benang kusut. Tak ada yang mau seperti ini. Aku juga belum mencintai Vera, seperti Kau yang juga belum mencintai Aisyah. Semua sama. Jadi biarkan ia mengalir pada muaranya masing-masing, nanti akan sampai pada waktunya.” Aku meninggikan suara dengan wajah merah padam. Kemarahanku memancing emosiku yang sudah lama terpendam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline