Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

[TantanganNovel100HariFC]Cintaku Tertinggal di Pesantren - Mas Bejo

Diperbarui: 29 Maret 2016   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Episode : Mas Bejo

Malam semakin larut. Angin dingin menium mencekam. Tulangku terasa ditusuk. Kubuka kelopak mataku. Sayup-sayup terdengar orang berbisik. Hujan menetes perlahan. Burung malam telah usai berkisah dalam nyanyian. Di sudut ruangan  Vera terpekur. Matanya memejam dengan tangan merentangkan doa. Tetes demi tetes air mata itu mengalir.

“Ya Allah, aku mencintai suamiku. Aku mencintainya karena-Mu. Berilah hamba waktu lagi untuk mengabdi kepadanya. Aku telah melupakan kepedihan yang diperbuatnya padaku. Aku telah melupakan dosa-dosa yang ia lakukan. Aku sudah memaafkan segala kehinaan yang menderaku karenanya.” Vera mulai terisak.

“Kalau keikhlasnku ini Engkau hitung sebagai amal ibadahku, yang akan Engkau ganjarkan di sorga-Mu kelak, maka aku mohon, tunjukkanlah pahala itu untuk mengabulkan permohonanku saat ini. Panjangkanlah umur suamiku Ya Allah, berilah ia kesempatan untuk menatap anak yang ada dalam kandunganku ini….” Kulihat badannya berguncang hebat.

Lalu Vera tersungkur. Isaknya semakin menjadi. Sajadah basah tergenang air mata. Aku perlahan memiringkan tubuhku. Tanganku menggapai besi pembatas tempat tidur. Ingin sekali memeluknya. Mendekapnya, sekedar memberikan rasa nyaman, bahwa aku selalu ada melindunginya.

“Vera….” Aku memanggilnya serak hampir tak kedengaran.

Benar saja. Ia tetap bergeming. Suaraku tak sampai ke telinganya. Atau karena pikirannya yang melayang jauh, membuat ia tak mendengar yang ada di sekitarnya.

Aku meraih sendok yang terletak di lemari obat samping tempat tidurku. Kujatuhkan sendok itu. Bunyinya membuat Vera tersentak. Lalu ia berlari ke arahku. Tak henti-hentinya ia memeluk dan menciumku penuh keharuan. Kegembiraan hatinya ia perlihatkan dengan senyum penuh rasa syukur.

“Abang sudah siuman….” Katanya dengan mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke wajahku.

“Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa-doaku….” Lanjutnya lagi.

Ia kembali menangis dan memelukku sesegukkan. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya. Aku juga tak bisa berkata apa-apa. Seluruh jiwa ragaku lemah dan lemas. Hanya semangatku untuk tetap hiduplah yang membuat aku bisa menggerakkan tangan membelai pundaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline