Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren - Prolog

Diperbarui: 30 Maret 2016   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku Faisal. Pemuda tampan dan gagah. Orang bilang wajahku mirip Rio Haryanto, pembalap muda itu. Aku datang dari keluarga sederhana tapi tidak pernah kekurangan. Kebutuhanku selalu terpenuhi pada waktunya, itulah yang membuat aku semakin tak terbatas untuk beraktivitas sesukaku.

Sudah sepuluh tahun ini aku jarang sekali meninggalkan tempat ibadah, kecuali pada hari-hari yang telah ditentukan. Aku ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Ingin hidup memiliki arti dan bermanfaat bagi orang lain. Itulah sebabnya kutinggalkan duniaku yang hitam. Dunia yang sempat membesarkan namaku di ibukota. Yang membuat orang-orang takut bila mendengarnya.

Untungnya dalam suatu pelarian. Saat aparat mengejarku karena pembunuhan yang tak kurencanakan. Aku sampai di desa ini. Desa Gumai. Yang orang-orangnya sangat bersajaha, tapi tak peduli dengan latar belakang para pendatang. Bagi mereka, ada yang mau bermukim saja sudah menjadi anugerah.

Tapi rupanya di sini pula kisah pilu dimulai. Kepedihan, kesakitan karena cinta yang tak berkesampaian mengiris pedih luka-luka lama yang masih menganga.

Pagi itu aku tersenyum. Rajutan wajah manismu menghujam ulu jantungku. Menyentak disetiap helaan nafas. Tatapanmu begitu indah, binarnya menerangi hingga ke jiwa. Tapi itu dulu. Saat luka ini belum menganga.

Masih ku ingat saat aku mengenal kamu di pengajian itu, Aisah. Kamu melintas di depanku sambil membawa baki minuman. Rupanya kamu anak Pak Haji Husin, pemilik pondok pesantren tempat aku belajar mengaji.

Kamu begitu bersahaja sehingga membuat aku langsung jatuh hati. Tapi aku harus tahu diri, juga harus punya malu. Karena kamu bukan perempuan sembarangan. Kamu memiliki segala yang diinginkan para wanita. Kecantikan, kesalehaan, kehormatan, harta, keturunan baik-baik dan tentu saja kasih sayang melimpah dari orang tua.

Mana mungkin Pak Haji Husin mau menerima pinanganku untukmu. Apalagi aku mantan napi yang baru insaf. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Kasihku tak akan pernah terwujud. Ibarat hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Akhirnya aku membiarkan cintaku bertebaran bagaikan kunang-kunang.

Suatu ketika aku menyampaikan gagasan membangun mesjid di lingkungan pesantren itu. Ayahmu menyetujui, juga orang-orang sekitar. Sebagai pemuda, aku ditugaskan untuk menghimpun dana. Cukup berat, tapi berkat nama besarku saat menjadi orang jahat yang kini dikenal sudah insaf, maka aku menuai simpati yang berujung pada mengalirnya bantuan.

Tahukah kamu? Aku sangat tersiksa dengan semua ini, Aisah. Bukan karena harus pontang panting mencari donatur. Tapi kehadiranmu disetiap bilik hatiku membuatku takut menyentuh rasa cintaku.

Ah, ia begitu perkasa menindasku, bahkan hampir menenggelamkanku dalam kepasrahan pada nasib. Tapi aku harus tegak dengan gagasan yang sudah berjalan, mesjid harus berdiri, kalau aku tinggalkan, maka niat baikku hanya sebatas keinginan memilikimu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline