Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

[Fikber]#5 : Derita Cinta Membara

Diperbarui: 20 November 2015   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dues K. Arbain No. 05

Dalam duka lara yang diderita
Karenamu
Luka-luka itu mencium bau penawarnya
Kenangan tentangmu mengubur jiwa
Beribu-ribu di tiap sudut,
mengharap sekilas lirikanmu
tersesat dalam gurun kesedihan
Mengembara tanpa tujuan
kulihat mata-mata basah penuh derita cinta sambil menari di lorong rasa bersalah

 

Tengah malam telah tiba, aku tercekat di gulita selimut kegelapan jiwa. Mataku terkulai sekarat, letih tak berkesudahan - selalu berkunjung tak berujung. Aku ingin melupakanmu Gie, semua yang ada dalam angan dan cita berubah ke alam bawah sadar, di sana aku terbius mimpi semu dan terbuai oleh rayuan gelapnya burung malam.


Di sudut kota kecil ini - di tepian danau, bersama cahaya rembulan mati, aku lelap dalam ayunan anyaman akar pohon. Aku menjauh dari hingar bingar kehidupan yang kamu ciptakan Gie. Sudah berbulan-bulan setelah kecelakaan itu aku tak kembali pulang. Aku ingin melupakan kepenatan yang membosankan, biarkan orang menganggapku telah hilang. Biarkan Gie tidak menemukanku lagi.

”Kenapa kau menganiaya dirimu sendiri Rhein?”

“Bukankah kamu sangat mencintai Gie?”

“Lalu kenapa kau tinggalkan Gie?” sayup-sayup kudengar suara bergema dalam tidurku. Berkali-kali aku mencoba terjaga, namun sekerlip pun mataku tak dapat dibuka. Aku merasakan peluh yang bercucuran, bahkan air mata darah pun menetes deras basah.

Tiba-tiba aku tersentak bangun, sebuah tangan kekar menyentuh keningku. Mataku terbelalak, tapi tak lama. Aku langsung memeluk tubuh itu. Air mataku terus mengalir melanjutkan mimpi tentang rembulan mati. Untuk kesekian kali dalam hidupku, aku merasakan kelaparan jiwa yang menghapus antara rasa manis dan kegetiran. Dengan linangan air mata yang masih bergulir di pipi, aku tak ingin melepaskan pelukannya.

“Maafkan aku J, aku tak dapat melupakan Gie”. Kataku tercekat

Lelaki itu mengangguk senyum, kemudian sejenak mendaratkan kecupan di keningku, lalu kulabuhkan wajah pada bidang dadanya. kupandang bulir-bulir keringat yang jatuh dari pipiku. Berbagai kenangan tentang Gie, telah mengoyak dan merobek hati yang menghancurkan harapanku. Hanya Mr. J yang tahu keberadaanku. Aku memintanya untuk menjaga rahasia ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline