Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Terjebak di Ruang Rindu

Diperbarui: 4 November 2015   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku menikmati cintaku dengan rasa, yang kadang-kadang mengiris hati bahkan menyayatkan sembilu dikala rindu. Sosokmu hadir di tengadah harap hampa menunggu pasti yang tak pasti bila. Sampai pada cahaya nafasmu menyibak gambut sukma melipurkan lara.

Kedatanganku ke kota sunyi ini betul-betul membuat jiwaku bergemeretak dibakar risau lelap rintih pedih. Aku sering terjebak di ruang rindu tak berbatas pada penghias-penghias hati yang sudah lama bersemi. Sampai tiba-tiba hadirmu mewarnai jalan hidupku yang mulanya biasa saja.

“Abang memikirkan apa?” tanyamu kala itu.

“Aku memikirkan kamu untuk menggubah sebuah nyanyian”. Jawabku

“Tentang apa, Bang?” tanyamu lagi dalam nada sendu

“Tentang hubungan kita yang tak punya arah”. Aku berbisik parau

=====

Keringat luruh berbulir di wajah lucumu. Ya, kamu memang lucu. Lucu yang menggemaskanku. Yang membuat cucur rencana masa depan denganmu hanya terbayang indah. Yang bila dekatmu cuma ada kemanisan-kemanisan terang tanah menyuburkan cinta. Yang kala bersama kamu seluruh dedaunan bergemerisik seakan mencumbu senandung merdu.

“Abang meragukan kesungguhanku?” tanyamu terisak

“Tidak, Abang tak pernah ragu. Tapi keadaan Abanglah yang membawa semuanya jadi tak pasti”. Jawabku sejujurnya

“Aku tak mau Abang memeluk kabut lalu menghilang. Aku selalu merindu berlindung di kepak sayap perkasa Abang. Aku mencintai Abang lebih dari yang pernah kumiliki sebelumnya”. Suaramu semakin serak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline