Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

(FR) Pancasila Diujung Ramadan

Diperbarui: 15 Juli 2015   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ramadhan kali ini menyisakan kesan disudut relungku. Bersama waktu yang ngelanut erat pada pengalaman baru dari satu perjalanan angin selatan menuju utara pulau Sumatera. Menunaikan tugas sejatinya seorang anak negeri. Hingga mengukir peristiwa demi peristiwa yang bertonggak makna sepanjang nafas kehidupan.

Sibuhuan, tempat tugas yang terpikul dipundakku saat ini. Kotanya sangat asri, dikelilingi oleh bukit barisan dan riak-riak sungai pegunungan, yang sebagian dingin seperti salju, sebagian panas digodok zat blerang. Orang-orangnya dapat memilih mandi di air dingin ataupun air panas diantara kaki bukit perkasa yang tiada lelah mengeluarkan isi perutnya.

“Kamu orang baru ya?” tanya seseorang yang aku jumpai di sebuah kedai minuman

“Iya, bang”, jawabku

Kemudian ia bercerita tentang kemarau panjang yang tak kenal batas waktu hingga mengeringlah semua tanah termasuk sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Hutan-hutan beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit yang terkenal rakus mengkonsumsi air hingga 8 liter setiap hari. Sepuluh tahun lalu, udara sejuk dengan kabut yang berterbangan masih dirasakan. Kini hanya ruang AC yang dapat menggantikan tetes embun penusuk tulang sumsum.

Aku ingin kota ini menjadi kota modern - kuat dengan nilai religius, katanya melanjutkan. Betapa banyak pendatang dari setiap pelosok negeri yang menapak menghampiri kota ini. Mereka bersuka cita membangunkan geliat ekonomi yang masih terbentang untuk setiap kesempatan bagi pemilik jiwa yang terkikis zaman primitif. Betapa banyak orang-orang yang beda keyakinan menyatu padu pada suku anak asli. Hingga tempat-tempat ibadah terbangun aman dalam lindungan pergaulan waktu kekal yang menyiangi pemilik Ruh kebaikan takdir yang mesti harus ditempuh.

Lampu-lampu kota yang dulu temaram kini berkilau bagai cahaya mutu manikam. Perbedaan mencolok dengan negeri tetangga yang selama ini menikam bathin pemilik raga penyiang bunga-bunga mimpi mulai singgah dan peduli. Sekujur badan kota berdiri kokoh disemat akar-akar besar yang tak terusik oleh kalimat-kalimat kebencian. Para pendatang dan penduduk asli bahu membahu membangun negeri karena kabut-kabut percaya pada matahari yang menyuarakan bait-bait makna.

“Saya pulang dulu, bang”. Kataku pamit tanpa ekspresi

“Oh, ya. Silahkan dik. Hati-hati di jalan”. Pesannya

Tak seberapa jauh perjalanan yang tertempuh, aku melihat sebuah rumah ibadah terbakar kobaran api berhiaskan teriakkan-teriakkan kebencian penuh dahaga bagaikan liur bertebaran menyeruak rintihan. Kemudian terjadilah peristiwa pengrusakkan taman-taman hiburan yang berdiri kokoh di atas mata pencaharian khalayak ramai. Angin menderu kencang menampar pori-pori Ramadhan, jiwa-jiwa lemah tiada khabar akan asa manis semanis madu, karena rembulan tak kian jatuh bahkan semakin menjauh takut terbunuh. Dan kuncup bunga bidadari Lailatul Qodar kembali layu sebelum bermekaran bersama lepasnya takdir.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline