Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Denmunir, Pejantan Laknat

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehadiran Denmunir di pantai Kuta malam ini telah menenggelamkan mata hatinya dalam selimut kabut tebal hingga menuju jalan terjal yang berbeda dari indahnya kata yang pernah ia ucap. “Kenapa aku kenal dia?” sesalnya dalam hati. Ya – Denmunir telah menyimpang dan memulai suatu petualangan yang pada dasarnya ia sendiri pernah mengucap sumpah serapah atas perbuatan itu yang dilakukan oleh orang lain. Tubuh Denmunir yang biasanya terbalut warna putih karena selalu disirami beningnya air surgawi dan hanya tersentuh oleh bidadari surga dari kekasih halal sejati, tanpa sadar malam itu ia membiarkan sesosok raga kelam bertahta kunang-kunang malam meraba ke permukaan birahinya. Padahal ia baru saja berkenalan. Canda dan sentilan yang menggoda dan tanpa sadar ia lakukan telah membawa dirinya dan sang dara ke pangkalan hubungan terlarang. Apa lacur. Dermaga telah membentang. Layar telah dikembangkan. Ia telah berlabuh. Dan kini siap untuk mengayuh jauh. Tiang pancang telah ditegakkan. Dan nakhodapun sudah bersiap melepaskan tambatan. Denmunir benar-benar terlena dalam samudra durjana. Kini ia hendak kembali ke Jakarta tapi bayangan sang dara tak bisa berpisah dari tarian matanya. Setiap sudut ruang yang ia pandang, ada bayangan sang dara. “Apakah aku telah jatuh cinta?” tanyanya pada hatinya dengan heran. “Ah, tak mungkin, wanita itu tak lebih dari sosok bayaran”, fikirnya lagi. “Akupun berkenalan di tempat yang tidak semestinya” lanjutnya lagi menggurui dirinya sendiri. Padahal jika ia jujur, Denmunir sebenarnya hanya mengingat permainan nakalnya saja. Dasar!!!

Sesampai di rumah ia merasakan sakit di ujung kelaminnya. Seperti ada pembengkakan. Permukaannya tampak memerah. Denmunir tak sadar apa yang sedang ia alami, ia tak pernah mengalami hal seperti ini. Dipandangnya kabut malam, ditanyanya bintang gemintang, dihujamnya kegelapan. “Apa yang terjadi kini?” pekiknya dalam hati. Ingin menceritakan pada Seany isterinya ia malu. Ingin berbagi seperti malam-malam yang telah lalu tapi tak sanggup. Ingin menyentuh isterinya ia takut. Namun seperti biasa, isterinya tak pernah memulai, hingga selamatlah Denmunir pada malam itu. Ketika malam berikutnya Denmunir merasa tidak enak hati, diberanikanlah menyentuh isterinya, tapi beruntung isterinya sedang kedatangan bulan pagi tadi, sehingga sentuhan yang sudah ia lancarkan tak berhasil bersarang pada tujuan. Iapun berangkat ke kamar mandi karena terserang oleh hajatan kecilnya. “Oh..... Denmunir memekik lirih. Sakit sekali” erangnya. Dan yang membuatnya terenyuh air seninya mengeluarkan nanah. Pedih dan sakit yang ia rasakan, lebih sakit lagi menghujam jantungnya. Ia pernah membaca nama penyakit ini. Ini pernah mendengar teman-temannya menderita penyakit ini. Yah – Kencing nanah atau gonore (bahasa Inggris: gonorrhea atau gonorrhoea). Denmunir menangis. Penyesalan yang ia rasakan tak kuat dibebankan pada dadanya yang menyesak. Tapi semua telah terjadi, hukum alam telah ditegakkan. Ia bergegas ke dokter kulit dan kelamin kenalannya. Tak peduli apa kata dokter itu kelak. Yang penting ia harus sembuh.Beberapa bulan kemudian setelah sembuh dari penyakit tersebut Denmunir baru berani menyentuh isterinya. Ia masih terselamatkan karena isterinya tak pernah menuntut atau meminta. Namun Seany isterinya tetap saja merasa heran, walaupun tak pernah ia ungkapkan kepada Denmunir.

0000000000ooooooo00000000000

Seiring perjalanan waktu, Denmunir mendapat tugas lagi ke Kalimantan Barat, Kota Singkawang tepatnya. Berbekal keahlian di bidang IT yang ia miliki, Denmunir memang selalu mendapat tugas ke luar kota ke seluruh pelosok negeri. Di kota ini ia menginap di sebuah hotel ternama berbintang empat. Lampu temaram jalanan Singkawang ditambah indahnya taman kota menuju hotel peraduan, membuat rasa romantis yang ditimbulkannya membangkitkan gairah jiwa ke alam khayalan. Ketika malam semakin menanjak, ia bergegas beranjak pulang ke hotel setelah memutar-mutar kota di seperempat malam yang melelahkan. Sesampai di lobby ia tergoda melihat hilir mudiknya wanita miskin papah hampir tak berpakaian. Denmunir menerawang setibanya di kamar. Ia sedang dihujam penat karena keletihan bekerja seharian. Diraihnya gagang telepon hotel menuju angka enam. Nomor yang tersalurkan ke room service. “Apa ada tukang pijat di sini?” tanyanya malu-malu tapi tegas sangat membutuhkan. Dan sang pemijatpun datang sesuai dengan spesifikasi yang ia pesan. Kulit bersih, putih dan masih belia. Walah, sang pemijat model apa pula ini Denmunir?. Mana ada mbah-mbah yang mau menurunkan ilmu kanuragan pemijatnya pada cucu yang masih kenyal begini? Tapi dasar Denmunir sudah keblingsatan. Otaknya penuh dibejali dengan kemesuman sedari lobby tadi. Dan perbuatan harampun terulang kembali. Denmunir menyesal. Tapi rasa itu selalu datang kemudian. Ia membayangkan penyakit yang pernah singgah ke raganya. Ia sudah mengalami akut perihnya dan betapa hina tubuhnya terhadap isterinya, Tuhannya dan dirinya sendiri. Tapi tak ada guna. Bayangan bijak itu datang setelah semua terlaksana. Dan kali ini tidak perlu sampai ke rumah, sang kencing nanah benar-benar langsung menyambar malam itu juga. Bengkakan dan lebam kemerahan yang ia rasakan sekali sakitnya membuat Denmunir tak bisa tidur semalaman. Denmunir benar-benar keterlaluan. Jalan kenikmatan yang hanya tereguk sesaat selalu berbuah penyesalan tak jua ia hiraukan di awal perbuatan. Ah – sebegitunyakah nafsu yang telah mengotori jiwa? Kini ia dalam penderitaan hebat. Tidak hanya kencing nanah yang ia rasakan tapi gejala sipilispun telah ia tuai. Dokter Pardi yang ia temui sekembali dari Singkawang sempat membentaknya. “Sebagai dokter saya senang didatangi pasien, tapi sebagai manusia saya sangat membenci perbuatanmu. Jika masih terjadi lagi, aku tak akan memaafkanmu” kata dokter Pardi malam itu, ketika Denmunir kembali berobat padanya dengan penyakit dari hasil perbuatan yang sama.

000000oooo0000000

Syukur Alhamdulillah penyakit Denmunir dapat disembuhkan. Ia benar-benar taubat dari kelaknatan yang ia ciptakan sendiri. Dijauhinya bayang-bayang menggemaskan yang selalu datang mengganggu. Dalam hatinya ia telah berjanji untuk tidak akan pernah mengulangi lagi. Dan Denmunir masih bersyukur lagi, Seany isterinya tak pernah tahu akan penyakit yang menimpanya. Hanya saja isteri lugunya tersebut pernah bertanya ketika melihat celana dalam Denmunir yang ternoda oleh cairan. “Cairan apa ini Mas?” tanyanya sambil menunjukkan celana dalam Denmunir yang akibat ceroboh dibiarkan berserak di kamar tidur mereka, saat itu isterinya sedang membereskan pakaian kotor untuk dimasukkan ke mesin cuci. “Penampungan bibitnya dah penuh ma, jadi keluar sendiri” jelas Denmunir berbohong. Seany hanya tersenyum panjang. Ia paham suaminya lelaki yang baik dan tak pernah menghianinya, jadi wajar kalau penampungannya sampai penuh dan tumpah sendiri, fikirnya.

Hari-hari berlalu kehidupan Denmunir berjalan seperti biasa, ia tak lagi bertugas ke luar kota, karena belum ada lagi rekanan dari perusahaannya yang meminta bantuannya. Kejenuhan mulai ia rasakan. Kehidupan Jakarta yang selalu penuh goda tak berhasil ia taklukkan. Disaat Seany sedang berada di hadapan para mahasiswa di Kampusnya, Denmunir uring-uringan tinggal di rumah sendirian. Ia memutar otak kotor untuk membunuh sepi. Panti Pijat yang tak seberapa jauh dari pemukimannya menjadi tujuan. Denmunir laknat mengulang lagi sebuah perbuatan hitam. Tak peduli dengan segala macam penyakit yang pernah ia dapatkan. Tak peduli dengan rasa malu yang pernah ia rasakan. Tak peduli dengan penyesalan setiap selesai melakukan perbuatan Syetan. Tak peduli dengan Iblis yang selalu tertawa ngakak terpingkal-pingkal melihat makhluk Tuhan yang selalu terjerumus berulang-ulang. Ah – Denmunir memang dilaknat Tuhan. Penyakit yang datang belakangan jauh lebih menakutkan. Virus HIV telah menjalar di sekujur tubuh panjangnya. Perlahan wajah pucat sudah mulai ia tuai, kulit mengeriput membalut tulang kini mulai meradang. Mata cekung dan pipi lengkung telah ia rasakan. Aids tak dapat ditahan. Duhai Denmunir, andai engkau teringat akan Tuhan, karena tidak satupun lirikan mata yang luput dari pengetahuanNya, tidak ada satu katapun yang terucap yang tidak didengar oleh pendengaranNya, karena Dia Yang Maha Mendengar. Saat engkau dihargai orang lain, teman, isteri, orang tua sesungguhnya bukan kemuliaan yang engkau miliki melainkan karena Allah yang masih menutupi aibmu.Sesungguhnya engkau kian lama kian dekat dengan kepulangan, kain kafan akan ada saatnya dibungkuskan ke badanmu. Alangkah beruntungnya jikalau kematian datang benar benar sudah siap, dosa sudah diampuni oleh Allah, badan terbasuh air wudhu. Alangkah indahnya  jikalau malaikat maut menjemput dengan paras yang  teramat indah. Kening usai bersujud, lisan sedang lirih menyebut nama Allah, keringat sedang bersimbah berjuang dijalan Allah. Alangkah indahnya jikalau kematian datang orang tua, isteri, kerabat dan handai taulan ridho, orang orang yang disakiti sudah memaafkan. Duhai Denmunir, semoga engkau menjadi tenang dan diampuni segala dosa-dosamu. Amin Ya Rabbal Alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline