Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Ular dan Anjing di Seputar Kehamilan Isteriku (Mistery)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara malam yang dingin membuat aku terjaga dari tidurku. Kulihat isteri dan anak-anakku pada bergelimpangan di tengah rumah. Tak satupun yang masuk ke kamar tidur mereka. Ah, inilah kebiasaan di rumah ini, nonton televisi bersama di ruang tengah lalu tertidur satu per satu tanpa memperdulikan televisi yang masih menyala. Kalau tadinya kami yang menonton televisi, kini giliran televisi yang menonton kami.

“Bu, bangun...pindah ke kamar” kataku membangunkan isteriku. Kulihat isteriku mengucek-ucek matanya dan menggeliat seperti bayi yang baru bangun tidur. Lalu satu per satu anak-anakku mulai bangun dan beranjak ke kamartidurnya masing-masing.

“Saya ke kamar duluan Yah” kata isteriku di saat aku sedang mengangkat tubuh mungil si bungsuku memasuki kamar tidurnya.Tiba-tiba ku dengar isteriku teriak dan berlari ketakutan dari dalam kamarnya.

“Ada apa Bu?” tanyaku

“Ada ular di atas tempat tidur kita Yah” jawab isteriku ketakutan. Aku segera ke kamar tidur kami, kulihat kepala sang ular yang menurut perkiraanku adalah ular sendok sedang terangkat tinggi dengan kepala lempeng persis sendok makan mengarah ke arah kami. Sebagian badan ulang sendok tersebut bergelung di atas kasur.

“Apa yang harus kita lakukan Yah?” tanya isteriku masih ketakutan. Sementara aku terus memutar otak untuk mencari cara bagaimana menangkap ular tersebut, kuminta isteriku supaya tidak dekat-dekat dengan aku.

“Tolong ambilkan selimut atau handuk tebal Bu” perintahku setelah mendapat inspirasi bagaimana cara menangkap ular tersebut.Aku melihat ular tersebut sangat tenang, didesak supaya berpindah tempatpun dia tak mau. Akupun berusaha setenang mungkin tidak boleh kalah dengan ular tersebut fikirku.Sejurus kemudian isteriku datang membawa selimut dari kamar anak kami.Secepat kilat aku melayangkan selimut tersebut ke tubuh panjang sang ular, lalu kugenggam erat kepalanya, rasanya sudah pas cengceraman tanganku di kepala sang ular.Ku kuatkan diri untuk bisa menahan geli supaya genggamanku tidak terlepas.Isteriku sudah menyiapkan sebuah karungdan ular segera kumasukkan ke dalam karung tersebu. Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan ular sudah terkurung.

Malam semakin senyap, aku memeriksa seisi kamar tidur. Di bawah lemari, ranjang, kamar mandi dan semua sudut kamar tak luput dari perhatianku. Setelah merasa yakin tidak ada lagi yang lainnya aku menjadi heran dari mana datangnya ular tersebut.Ventilasi jendela sudah tertutup rapat karena kamar sudah terpasang AC. Saluran air di kamar mandi terpasang saringan yang tidak mungkin bisa ditembus oleh sang ular. Pintu rumah sangat rapat dengan lantainya, semua pertanyaan dibenakku bagaimana cara ular tersebut masuk tidak dapat aku jawab karena semua kemungkinan menemukan jalan buntu. Isteriku sudah tak berani lagi masuk kamar. Akupun demikian. Kami berdua melanjutkan tidur di ruang tengah.Namun tak berapa lama kemudian, aku dikejutkan oleh suara yang memanggil namaku secara berulang-ulang. Panggilan tersebut datangnya dari jauh. Aku tanyakan tentang suara orang yang memanggil namaku tersebut pada isteriku, tapi dia menjawab tak mendengar. Aku jadi merinding. Bulu kudukku terasa berdiri, pori-poriku merekah dan nyaliku jadi ciutaku teringat akan anak-anak yang sudah kuangkut ke kamar mereka masing-masing. Dengan kekuatan tenaga dan kepercayaan pada kuasa Allah SWT aku beranikan diri memasukki kamar tidur anak-anakku, satu persatu mereka kukeluarkan kembali ke ruang tengah, dan setelah itu aku memeriksa seisi kamar mereka, setelah merasa aman kututup pintu semua kamar tidur rapat-rapat dan menguncinya dari luar. Kulihat isteriku sedang melaksanakan shalat malam. Sedangkan aku terpekur memandang ketiga anakku yang tidur pulas tanpa tahu bahwa ayah dan ibunya sedangkan menghadapi suasana yang mencekam.

Keesokkan paginya ular tersebut aku buang sampai jauh di pinggiran kota,tali pengikatnya kulepaskan, dan sebelum meninggalkan tempat pembuangan ular tersebut aku memastikan bahwa ularnya masih hidup dan sudah keluar dari dalam karung. Seharian kami menceritakan kejadian semalam, berdiskusi dan membahas apa yang akan kami lakukan ke depan. Yang jelas, isteriku sudah tak mau lagi tidur di kamar tidur kami tersebut. Sorenya aku membawa isteri tercinta ke dokter kandungan, karena sudah satu bulan ini dia belum kedatangan tamu bulanannya. Tepat seperti dugaanku, isteriku hamil dan sudah berjalan bulan kedua. Kami senang, karena kami akan mendapat anak genap berjumlah empat orang, artinya kalau diibaratkan sebuah meja, maka dengan empat kakinya meja tersebut akan berdiri kokoh.

Khabar kehamilan isteriku tersebut disambut gembira oleh ketiga orang anak-anak kami. Mereka sudah membayangkan akan mendapatkan adik yang lucu dan menggemaskan. Mereka semua tidak tahu akan kejadian yang dialami orang tuanya tadi malam. Kami berdua sengaja merahasiaan ini dari mereka. Tapi ternyata cerita misteri itu baru awalnya saja. Setelah semalam kami dikejutkan oleh kedatangan ular sendok tersebut bersama suara-suara memanggil dari kejauhan, malam ini kami dikerubungi oleh anjing-anjing yang mengeliling rumah, jumlahnya banyak, kalau sanggup aku menghitungnya mungkin ada puluhan anjing-anjing tersebut menggonggong di sekitar rumah. Entah dari mana datangnya. Semua serba menakutkan, setahu aku selama aku tinggal di pemukiman tersebut hanya beberapa kali saja melihat anjing dan itupun dengan anjing yang sama. Yang membuat aneh anjing tersebut selalu datang ketiga maghrib menjelang dan menggonggong hingga waktu maghrib habis. Kondisi ini membuat kami sekeluarga selalu berkumpulbertadarusan setiap habis shalat maghrib hingga menjelang waktu isya’. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang kami bacakan dengan diiringi lolongan anjing membuat anak-anak kami ketakutan dan selalu ingin dekat dengan kami berdua. Sungguh, anjing-anjing itu tak pernah bisa diusir, bahkan tetagga-tetangga kami yang selalu menghalaunya dibuat kapok, karena anjing tersebut selalu kembali dan kembali lagi, namun yang membuat semakin aneh, ketika Isya’ telah tiba tak terdengar lagi dan tak terlihat lagi anjing-anjing tersebut. Hingga muncul di waktu maghrib keesokkan harinya lagi, demikian kejadian ini berjalan secara terus menerus hingga tibalah usia kandungan isteriku memasuki bulan ke sembilan, artinya saat-saat yang ditunggu-tunggu akan tibalah.

“Ayah, kita ke dokter malam ini” ajak isteriku sambil menyebut nama dokter kandungan yang menjadi langganannya selama memerisakan kehamilannya.

“Iya, bu. Anak-anak diajak semua.” Kataku

“Iya Yah, tak mungkin mereka mau tinggal”, jawab isteriku

“Tapi apa sebaiknya kita ke sana sebelum maghrib saja, atau kita ke rumah Mak Wo dulu”, ajakku pada isteriku

“Jangan Yah, kita tetap harus berkumpul di rumah berjamaah dan tadarusan seperti biasa” jawab isteriku tak mau meninggalkan kebiasaan kami.Semenjak kami dipindahtugaskan ke kota tersebut, kami tak memiliki kerabat sedarah di kota ini, untungnya isteriku berhasil menjalin kekeluargaan dengan Ibu Kos yang dulu aku pernah tinggal di sana, sehingga setelah kehadiran isteriku Ibu Kos yang kami panggil Mak Wo tersebutbertindak seperti orag tua sendiri, sehingga kamipun tidak pernah sungkan untuk berkunjung dan saling membantu di setiap kondisi.“Kita ke rumah Mak Wo besok saja, sekalian memberitahukan umur kandungan saya yang rasanya sudah dalam hitungan jam” kata isteriku.

Hasil pemeriksaan dokter malam itu sungguh meggembirakan kami, bayi yang dikandung isteriku nampak sehat, dengan posisi sudah mantap yaitu kepala di bawah sudah masuk ke dalam saluran pintu vagina. Menurut ilmu kedokteran kemungkinan besar isteri saya akan melahirkan besok dan posisinya tidak mungkin berubah lagi. Kami bersyukur dengan pernyataan dokter tersebut, artinya kami isteriku dapat melahirkan dengan normal.Dan tentu saja biaya melahirkan dapat kami tanggung dengan enteng, standar biaya melahirkan normal berupa uang tiga juta rupiah sudah siap digenggaman. Keesokkannya kami memberi khabar kepada Mak Wo, beliau memaksa untuk dibertahu kalau sudah sampai waktunya untuk melahirkan. “Biar Mak Wo nanti yang nunguin di Rumah Sakit, Nak Du jagain anak-anak di rumah saja” pesan Mak Wo. “Iya Mak Wo” jawabku. “Kami pulang sekarang Mak Wo, mau nyiapin perlengkapan kalau jadi melahirkan malam ini” kami pamitan ke Mak Wo. “Atau anak-anak tidur di sini saja” ajak Mak Wo, tapi anak-anak menolak dengan alasan mau ikut mengantar ibunya ke rumah sakit jika nanti ibunya melahirkan. Kebetulan besok adalah hari minggu sehingga mereka liburan semua. “Hati-hati di jalan ya” pesan Mak Wo, dan kamipun berlalu meninggalkan Mak Wo sendirian di rumahnya.

Sebenarnya kami bisa saja tinggal di rumah Mak Wo yang besar itu, tapi Mak Wo tak mau dibayar padahal kamar-kamar yang ada di rumahnya tersebut memang diperuntukkan untuk kos-kosan, dengan dalih mendapatkan rumah dinas dari perusahaan, kami memutuskan untuk tidak tinggal di rumah Mak Wo. Dan Mak Wo dapat menerima alasan itu.

Waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB, anak-anak sudah tidak bisa lagi menahan kantuknya, kulihat mereka sudah pulas. Kami tetap saja tidur di ruang tengah, tak satupun yang mau pindah kekamar tidur masing-masing, apalagi isteriku, bayangan ular sendok berada di tempat tidur selalu menghantui perasaan kami.

“Yah, ketuban Ibu sudah pecah” kata isteriku memperlihatkan tetesan ketuban yang semakin deras di kakinya.

“Ibu merasakan sakit?” tanyaku, karena biasanya orang yang mau melahirkan akan merasakan sakit yang datangnya sebentar-sebentar dan berulang-ulang, semakin lama semakin sering datangnya. Tapi isteriku tidak merasakan itu sama sekali. Ia malah dapat berjalan tenang sambil mengemasi tas-tas pakaian yang sudah ia siapkan jika sewaktu-waktu datang saatnya melahirkan.

“Kita ke rumah sakit sekarang Yah” pintu isteriku

“Ayah memberitahu Nini dulu Bu, biar menjagain anak-anak” jawabku. Nini adalah tetangga sebelah rumah yang selama ini selalu ikut ambil bagian dalam mengasuh anak-anak kami, beliau sudah kami anggap seperti keluarga sendiri, dan yang lebih menyenangkan lagi dia mampu membuat anak-anak kami bermanja-manja padanya persis seperti nenek mereka di kota asal kami.

“Nggak usah Yah, kasihan Nini dibangunkan jam segini, lagian anak-anak sudah tidur nyenyak semua, biasanya tidak ada yang terbangun tengah malam” kata isteriku.

“Ya sudah kalau begitu kita pergi sekarang” ajakkku.

Begitu mobil keluar dari halaman rumah, ratusan anjing mengelilingi kami, mereka menggonggong tak henti-hentinya saling bersahutan, Nini terbangun dan membuka pintunya, aku langsung saja bilang keNini bahwa isteriku mau melahirkan, dan meminta tolong kepada Nini untuk menjaga anak-anak kami. Nini langsung masuk ke rumah dan kam segera berangkat. Aneh sekali, anjing-anjing tersebut tetap membututi mobil yang kukemudikan dengan kencang di malam buta itu. Dan mereka terus mengejar, jumlahnya malah semakin banyak, bahkan ribuan, sampai di rumah sakit anjing-anjing tersebut tetap saja mengikuti kami dan menggonggong tak henti-hentinya. Untung para Satpam segera mengusir anjing-anjing tersebut dengan melempar batu-batuan.Sampai di ruang persalinan suster segera memeriksa kondisi isteriku. Kejadian luar biasa terjadi lagi, bayi yang semalam dalam kondisi normal sudah berubah arah, ia tampak melintang, kepalanya sudah tidak berada di saluran vagina lagi. Suster segera memanggil dokter yang menangani isteriku selama ini setelah ia bertanya siapa dokter yang merawat isteriku. Tidak berapa lama dokternya tiba, iapun kaget karena semalam kondisi normal. “Harus segera dioperasi” katanya padaku. “Tidak bisa dibikin normal Dok?” tanyaku diselimuti rasa cemas, terutama mencemaskan keselamatan isteriku dan tentu saja biaya melahirkan yang pasti lebih dari anggaran yang sudah aku siapkan. “Tidak bisa, ketubannya sudah hampir habis keluar” kata dokter. Aku melihat ke isteriku, dia tampak sehat tidak merasa sakit sedikitpun. “Silahkan dioperasi dok” kataku setelah mendapat keyakinan dari wajah isteriku yang memberiku senyum damai.

Aku menunggu di ruang tunggu, sesekali kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Sudah hampir setengah jam belum juga ada khabar dari ruang operasi. Aku cemas, ingin nelpon orang tua di kota asalku, tapi khawatir mereka cemas dan berangkat terburu-buru malam itu juga. Mau menelpon Mak Wo, sudah larut malam, khawatir Mak Wo memaksakan diri pergi sendirian, kalau terjadi apa-apa akan menambah kerepotan lagi. Akhirnya dengan terus membaca surat Ar Rahman dilanjutkan Al Waqi’ah secara berulang-ulang aku menguatkan diri untuk menunggui isteriku yang sedang berjuang di kamar operasi. Alhamdulillah suster keluar dengan membawa bayi ke arahku, segera kusambut dan melafazdkan adzan di telinga kanan serta iqomah di telinga kiri aku tak henti-hentinya mengucap syukur karena bayi perempuan yang dilahirkan isteriku malam itu sempurna tanpa cacat. Lengkap sudah kebahagiaan kami, mempunyai anak empat, laki, perempuan, laki dan perempuan lagi. Terima kasih Ya Allah, ucapku tak henti-hentinya.

Aku segera menghampiri isteriku, untung dokter tidak melarang lagi, kulihat wajah isteriku pucat, darahnya banyak yang keluar. Ia belum sadarkan diri. “tunggu sekitar sepuluh menit lagi dia akan sadar” kata dokter menenangkanku. Aku mengusap wajah isteriku, kukecup keningnya, kuhirup hidungnya dengan hidungku, aku begitu mencintainya. Sedikitpun hatiku tak kan pernah meninggalkanya.Pengorbanannya malam ini semakin menambah kasih sayangku pada wanita suci ini. Tak sadar air mataku menetes tak terbendung, aku ingin memeluk isteriku lama.....lama sekali. Kuremas jemarinya, “Bu... bangunlah, ini aku ada di sampingmu” aku membisikkan kata-kata yang kata dokter akan terdengar sebagai penenang bagi orang yang akan tersadar dari pengaruh bius.

Tiga hari berlalu, isteriku bersama anakku sudah diperbolehkan pulang, bayi mungil tersebut kami beri nama Aisyah.Kepulangan Aisyah ke rumah membuat suasana rumah tangga kami semakin meriah,anak-anakku begitu bahagianya mendapatkan adik baru.Kami sudah tidak mendengar lagi suara anjing menggonggong, dan tidak kami temukan lagi anjing-anjing yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Tapi datang keanehan baru lagi, Aisyah tak bisa ditinggal sendiri, tak bisa jauh dari orang-orang, walaupun hanya berjarak dari ruang tengah ke dapur, setiap dalam kesendirian dia selalu menjerit dan menangis sekuat-kuatnya. Bahkan aku pernah merinding mendengar dia menangis. Orang tua kami yang datang dari jauh beserta saudara-saudara kami yang lainnya menyarankan agar Aisyah di bawa pulang ke kota asal kami saja.Saran tersebut kami ikuti, dan memang aneh, sesampainya di kota asal kami, Aisyah sudah tidak pernah menangis yang mengerikan lagi, kalaupun dia menangis, hanyalah tangisan bayi biasa. Tapi resiko yang kuhadapi, aku jadi terpisah dengan keluargaku setelah anak-anakku yang lainnya ikut pindah sekolah ke kota asal kami. Kini tinggallah kesepian yang menyertai hari-hari kesendirianku. Tapi aku tetap bahagia, karena jarak antara kota asalku dengan tempat aku bertugas sekarang tidak begitu jauh, bahkan dengan adanya Skype aku dapat memantau perkembangan Aisyah dan anak-anakku yang lainnya hari demi hari.Semogalah pengalaman ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline