Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Wanita Itu Lebih Memilih Penjara...

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13286671291817351464

Sore itu aku menyempatkan diri datang ke sebuah hotel pordeo yang berada di jalan merdeka.  Suasana tampak biasa saja, tak ada yang istimewa ataupun sesuatu yang dapat membuat beribu tanya, karena mindset sudah terpatri bahwa penghuni di sini adalah para narapidana yang sedang menunggu proses keadilan ataupun yang sudah menjalani hukuman, baik karena kesalahan sendiri, terjebak ataupun terpeleset. Kedatanganku ke sini sebenarnya tidaklah begitu penting, tapi aku merasa ada seseorang yang aku harus datangi, disebabkan beliau adalah sahabat yang begitu baik selama ini. Rasanya tak mungkin aku tak mempunyai nurani untuk sekedar merasakan kepedihan yang saat ini sedang ia alami. “Sudahlah dek, semua telah terjadi, mau diapakan lagi” lirih jawabnya, ketika kami sudah berhadap-hadapan saat aku menanyakan “kenapa jadi begini?”. Tapi satu hal yang aku salut ia selalu tersenyum walau terkadang terlihat hampa. “Aku harus mempertanggungjawabkan semua kekhilafan ini” lanjutnya lagi. “Kamu baik-baik saja? Tanyaku.  “Alhamdulillah...aku masih diberi kesehatan dan kekuatan” ia menjawab pertanyaanku tanpa reaksi apapun dari raut wajahnya. Lalu ia menanyakan bagaimana keadaan di luar, yang aku jawab bahwa semua biasa-biasa saja tidak ada perubahan apapun di sana. “Apakah media masih memberitakan tentang aku?” Tanyanya. “aku tak pernah menemukan lagi berita tentang dirimu” kataku. “Lantas apa yang kamu fikirkan sekarang?” tanyaku ketika ia terdiam menatap hampa ke arah pintu yang barusan dibuka oleh seorang petugas Lapas.  “Aku hanya berfikir bahwa ini adalah jalan dari Allah agar aku lebih fokus mendekatkan diri kepadaNya” ujarnya. “Selama ini aku hanya berjalan setengah-setengah, semua mengalir begitu saja, ibadahku kepadaNya hanya sebatas menjalankan kewajiban,bukan suatu kebutuhanku. Makanya di sini aku betul-betul memanfaatkan waktuku untuk menjadi orang yang dekat kepadaNYa.  Di sini aku merasakan sekali bahwa Allah sangat sayang kepadaku. Banyak pengalaman rohani yang tidak bisa aku rasakan di luar sana, ternyata di sini sangat nikmat”. Dia mencoba tersenyum lagi. “Syukurlah kalau begitu” jawabku membalas senyumnya. “mungkin kamu pernah mendengar ceritaku yang lalu....tentang seseorang yang merasa ibadahNya sempurna, tapi ternyata ia dikalahkan oleh seorang bandit yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dan merasa dirinya seorang yang hina dina dan tak pantas berdekatan dengan orang yang sempurna tadi, sedangkan yang sempurna tadi merasa dirinya sangat perfect sehingga tak pantas berdekatan dengan seorang bandit, tapi ternyata  Allah lebih memilih bandit yang ingin bertobat dengan perasaan hina dina tadi sebagai kekasihNya” aku berkata sambil memberikan segelas mineral ke arahnya. Dia tampak tersenyum. “Orang-orang menuduhku menikmati uang hasil jarahan itu, padahal sepeserpun aku tak menikmatinya, tapi aku memang salah.....kenapa selama ini aku hanya menurut saja apa yang dimaui oleh orang jahat itu. Anehnya, setiap kali ia berada di ruanganku dan mengajukan sesuatu untuk aku setujui, aku tak pernah bisa menolak, selalu menurut” dia mulai bercerita asal muasal ia sampai menjadi penghuni Lapas ini. “aku harusnya melakukan verifikasi, cross cek, dan tak mudah mempercayai seseorang, walaupun itu seorang haji sekalipun” lanjutnya lagi. “Apalagi ternyata latar belakang orang itu sangat tidak baik, dia pernah melakukan hal yang sama di perusahaan lain dengan modus persis seperti yang aku alami....aku tidak pernah menyangka kalau yang dulu heboh di perusahaan itu adalah dia biangnya” sesalnya dengan mulai menitikkan air mata. “Terus terang.... bukannya bertambah kekayaanku di sini, malah tabunganku sendiri banyak terkuras olehnya, orang menyangka uang yang kumiliki kemaren adalah hasil kejahatan yang kunikmati, demi Allah uang itu sudah ada jauh sebelumnya, silahkan cek jejaknya semenjak dahulu, itu murni uang suami saya dari hasil kebun” ia menjelaskan. “Tapi sudahlah...tak ada gunanya...akupun tidak ngoyo untuk berjuang supaya dibebaskan ataupun diringankan hukumannya, bahkan ketika teman-teman suamiku mau menolong.. bahu membahu untuk menyewa pengacara handal sekalipun, aku menolaknya....biarlah...ini sudah jalanku untuk lebih fokus kepada Allah Tuhanku, inilah pilihanku” dia tersenyum lagi, kali ini senyumnya sangat ikhlas. Aku lega mendengar ia tegar menghadapi semua ini, biar bagaimanapun dia pernah memberikan kontribusi yang baik untuk perusahaan ini, dan dia pernah menjadi teman yang inspiratif dalam kehidupanku. Dunia selalu berputar, dan manusia memang tidak ada yang sempurna, terkadang orang  merasa dirinya lebih sempurna... tapi ternyata dia masih jauh dari sempurna, karena kesombongan itu walau hanya terbersit  sedikit di hati... sangat tidak disukai Allah. Mencoba mengerti keadaan orang lain, mencoba memaafkan kesalahan orang lain secara pribadi adalah hal yang terindah dalam hidup, walaupun hukum tetap harus ditegakkan.  Semoga ia menemukan jalan yang terbaik menuju Allah Azawajallah sebagai satu-satunya tempat meminta pertolongan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline