Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Gigolo

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pelangi jingga menyembul di ufuk timur Pantai Ancol. Bumi memuntahkan isi perutnya tak henti-henti. Air mengalir menutupi jalan-jalan protokol. Luapan anak sungai tak kuasa menampung semburannya yang semakin ganas. Letupan-letupan kemarahan akan polah tingkah manusia hampir menenggelamkan seisi kota.

Kamu menatap jauh ke ujung laut. Berkaca mata hitam, berkaos oblong warna putih yang menyembulkan kekekaran ototmu.Matamu berbinar menerawang. Kalau saja rembulan malam menghampiri tubuhmu, tentu saja sumringah jalangku menjalar menjilati wewangianmu. Tapi kau membisu, membiarkan lambaian dedaunan palm menyentuh ragamu.

Pantai ini terbentuk dari kegigihan sang pemimpin untuk memiliki daerah wisata. Dulu, ia hanya berupa hutan bakau yang banyak menghidupi makhluk air serta amphibi. Ada yang jinak ada yang buas. Tapi bagiku itu semua karunia alam yang disampaikan secara terang benderang, bahwa manusia tidak bisa hidup dalam habitat yang sama. Porak poranda dari kerakusan manusia sejatinya dapat tersadarkan manakala alam mulai melancarkan serangan baliknya.

Tujuh pekan menyusuri tepian Ancol untuk mengikis kenangan masa lalu ataupun yang baru saja berlalu. Deburan ombak, terumbu karang, cotage-cotage, cafe-cafe malam sampai hiburan-hiburan yang mengabadikan kenangan bersama sudah mentasbihkan ingatan sendu, sepertinya kita sudah saling melupakan kenangan sesaat.

==##==

Sudut buramnya kota Jakarta mengenalkan cerita pilu. Uang berhamburan di atas tempat tidur mewah ataupun kusam di sudut kamar usang. Dilempar begitu saja gepokkan atau lembar demi lembar dari nikmatya nirwana palsu sebuah delima nirmala. Ketika aku tersudut oleh manisnya dosa tak berampun hingga terkubur dalam lupa.

Kau tetap diam membisu seribu bahasa. Di pelataran musium tua milik penyair terkenal yang tak terurus, menjerumuskan kita, suka atau tidak, kita tak akan bersatu selamanya.

”Kamu asli Palembang?” Suaramu penuh wibawa menghangatkan naluriku tiba-tiba.

”Eh…. Iya, campuran. Ayahku Turki” kataku terbata

”Tak disangka ya, orang tuamu bisa bertemu?” ujarmu melepaskan senyum menebarkan pesona dari balik kaca mata hitam. Kemilau gigimu berbaris rapat menghentakkan desahan yang menggelorakan dada.

”Iya, Ayahku dulu berdagang sampai ke Palembang, hingga mereka bertemu dan akhirnya menikah”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline