Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Dilarang Mencetak Buku Tabungan Orang Lain

Diperbarui: 4 April 2017   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan dunia perbankan sudah sedemikian hebatnya. Pertumbuhan kantor-kantor cabangnya bagaikan jamur di musim hujan. Hampir di setiap sudut kota bahkan hingga ke pelosok daerah kita melihat kantor bank, baik yang kecil maupun besar. Baik yang berbentuk ruko maupun gedung mewah nan tinggi menjulang.

Fenomena ini tak lepas dari kesungguhan perbankan dalam memberikan pelayanan hingga menyentuh ke lapisan paling bawah. Dengan demikian masyarakat tidak segan-segan lagi untuk datang ke bank. Alhasil, menyimpan uang di bank sudah bukan lagi milik kalangan berada, tapi sampai masyarakat kelas rendah pun sudah menjadi nasabah bank.

Seperti yang aku alami hari ini, ada dua kejadian menarik yang dapat aku ceritakan ketika berada di banking hall sebuah bank pemerintah yang keberadaan kantornya selalu dikepung oleh bank-bank pesaing, yaitu:

Pertama, aku ikut antri di hadapan Teller bank tepat berada di depan seorang yang (maaf) berprofesi sebagai pengemis. Aku mengenalinya, karena saban hari melihat ia nongkrong di perempatan lampu merah menuju kantorku. Lumayan, ia menyerahkan uang cukup banyak di hadapan Teller, menurut perkiraanku sekitar lima ratus ribu rupiah. Ketika aku bergurau dengan mengatakan bahwa banyak sekali uang hasil mengemis, si Teller hanya tersenyum dan melayani apayang menjadi kebutuhanku saja. Duh, malu aku. Inginnya mengorek keterangan Teller agar ia menceritakan saldo simpanan pengemis tersebut, tapi tak berhasil.

Kedua, aku datang untuk menyetor sejumlah uang milik isteriku dari hasil usaha yang ia jalankan. Tapi saat uang sudah disetor, Teller tersebut tidak mencetak saldo pada buku tabungan atas nama isteriku tersebut. Aku kaget dan mulai melancarkan aksi marah. Tapi dengan tetap tersenyum Teller menjelaskan, bahwa mereka tidak diperkenankan mencetak buku tabungan yang dibawa oleh bukan pemiliknya sekalipun itu suami, isteri, orang tua dan sebagainya. Kalau ingin mencetak buku tabungan tersebut, Teller mempersilahkan isteriku datang sendiri.

Merasa kurang puas, aku datang ke pejabat bank tersebut. Lalu aku ceritakan keluhanku terhadap sikap Teller yang tak mau mencetak saldo buku tabungan milik isteriku sendiri. Namun, yang aku temukan adalah jawaban yang sama. Intinya, mereka memegang teguh rahasia bank yang tertuang dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992 dan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 tentang Rahasia Bank dan sanksi pidana serta materil yang akan diberikan kepada pegawai bank yang membocorkannya.

Jika ingin mengetahui saldo simpanan tanpa harus mencetak buku tabungan, ia menyarankan agar isteriku menggunakan SMS banking atau internet banking yang sudah dijelaskan pada saat pembukaan rekening. Malangnya isteriku masuk dalam kategori gatek, hingga SMS banking dan internet banking yang pernah dijelaskan dulu hanya menjadi angin lalu saja.

Namun demikian aku tetap mengacungkan dua jempol untuk para petugas bank yang memegang teguh prinsip dan aturan dalam dunia kerja mereka. Bagiku penjelasan tersebut sangat bermanfaat, bukankah itu untuk keamanan nasabah itu sendiri karena kejahatan perbankan sudah sedemikian canggihnya. Semoga sekelumit kisah ini berkenan di hati pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline