Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

(Fiksi Fantasi) : Dunia Atas Unjuk

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Segala fenomena kebobrokan peradaban yang kita saksikan

Semakin lama semakin parah

Silih bergantinya zaman dan kejadian

Juga banyaknya keberpalingan dan kelemahan angan serta cita-cita yang berlebihan telah menggiring pada segala persoalan yang menghadapkannya pada kesengsaraan.

Hari demi hari wabah penyakit terus bertambah sebagai makanan empuk kejelekan layaknya dosa.

Jiwa memang selalu tertarik dengan segala keanehan yang belum biasa dilihat serta pada hal-hal mistis (unseen) yang belum pernah dialami

Maka yang lemah dan bodoh pun selalu akan dengan mudah terjebak di dalamnya dan yang lamban akalnya pun akan terpedaya melihat prinsip-prinsip kehidupan yang ditawarkan dengan segala pernak-pernik yang menakutkan bagi makhluk yang beriman dan berakal.

Aku terpekur menatap kubangan air Sungai Belida yang semakin keruh. Bangkai-bangkai mengeluarkan bau busuk sangat menyengat. Air mataku tak habis-habisnya menetes hingga mengalir ke permukaan anak Sungai Musi ini. Kehidupan di dasar Sungai Belida pernah bergejolak. Semua penghuni kerajaan dasar sungai sudah mendapat titah untuk membawaku ke istana mereka. Layaknya pemburu yang fokus mengincar mangsanya, mereka selalu mengawasi gerak gerikku dalam setiap langkah.

===00===

“Kancil, kan?” tanyanya setelah menghampiriku. Aku mengenalnya sebagai Buaya Putih. Di atas kepalanya ada mahkota berbentuk belanga perak menandakan ia seorang panglima.

“Iya”, jawabku singkat.

"Kemarilah, dekati aku!

“Ada apa?”

“Kau hanya perlu duduk diam dan mempersiapkan mental. Aku akan membawamu menembus waktu." Ia berteriak-teriak dengan wajah garang.

Aku terpana, sudah lama aku mendengar ada kehidupan di dasar sungai ini, tapi baru kali ini benar-benar percaya. Untuk membuktikan cerita dari mulut ke mulut aku pun setuju seraya melompat ke perahu si Buaya Putih. Namun mulutku tak hentinya bertanya apa yang hendak ia lakukan padaku.

Saat kantuk sudah mengetuk mata, keinginan untuk mengetahui jalan cerita semakin besar hingga akhirnya aku menyadari bahwa membangun sebuah pertahanan diri tidak semudah yang nampak di pelupuk mata. Maka kuserbu ia dengan sebuah pertanyaan menusuk. “Apa kau masih saja ingin memangsa diriku!?”.

“Diamlah! Kau ikuti saja aku! Nanti kau pasti akan aku kembalikan, tapi bukan detik ini!” bentaknya lagi.

Aku tak merasakan derasnya aliran sungai ataupun susahnya bernafas di air tatkala perahu perlahan mulai menenggelamkan kami. Semua seperti hidup di udara bebas. Patin, Baung, Putak, Belida, Seluang, Lumajang dan lain-lain hilir mudik berenang menyapaku. Mereka nampak bagaikan serangga-serangga yang beterbangan di udara.

Tiba-tiba sang Buaya Putih menghentikan langkahnya. “Bersembunyi di belakangku”, bisiknya pelan. Nampak Belut bersama Tedung Manau tengah memanggul senjata melintas tak jauh dari persembunyian kami.

“Ada apa?” tanyaku dicekat rasa takut yang seketika menyelinap.

“Mereka ingin merebut tahtaku” jawab Buaya Putih tetap dengan sikap waspada.

“Aku bingung dengan sikap permusuhan kalian” aku menatap mata Buaya Putih tanpa berkedip. “Aku hanya bertanya, bagaimana kalau aku tidak kembali lagi ke tempat asalku dan tidak dapat lagi menginjakkan kaki di bumi, apa yang kau rasakan? Apakah aku hanya akan melihat tontonan pertempuran kalian, atau akan terlibat menjadi pelaku di dalamnya? Bagaimanapun, kau dulu pernah berkata bahwa kau menyayangi mereka, bukan?” Begitu mudahnya kalian melupakan masa lalu?

===000===

Mataku memandang liar ke sekeliling, beberapa rumah yang dibangun kelihatan seragam baik ukuran maupun bentuknya. Buaya kuning dan buaya hitam bermain gembira dengan pakaian yang bagus-bagus. Sesekali mereka saling dorong tapi tetap tertawa-tawa.

“Aku sudah ratusan tahun menjadi panglima di kerajaan ini”, Buaya Putih berkata dengan geraham yang mengeram panjang. “Beraninya Belut dan Tedung Manau ingin membunuh diriku”. Lanjutnya lagi dengan mata menatap tajam ke depan. “Aku tak akan mau mengasihinya lagi, tak semudah itu”. Ancamnya.

“Dia pernah dilahirkan dan dibesarkan dalam perlindunganmu?” Aku mengingatkannya.

“Kancil! Dia bukan anak bumi. Pahami itu. Dan di sini, di dasar sungai ini, mengasihi adalah kunci segalanya. Dan penghianat tak akan pernah bisa bermartabat apalagi mendapat tempat bagi para pemuja kebajikan”. Hardiknya yang membuatku bergidik.

Aku, Sang Kancil. Hanya terdiam.

“Coba perhatikan situasinya. Dia inginkan perang. Berkoar-koar kemana-mana untuk menggambarkan bahwa dirinya pahlawan pemberani. Padahal apa yang pernah dia toreh untuk mempertahankan negeri? Prasasti apa yang dia hunjukkan bagi kejayaan kerajaan ini.” Umpat Buaya Putih lagi.

Aku melompat kencang. Tanpa memperdulikan rasa takut dan pekikkan Buaya Putih yang tersedak mencegahku, kuhampiri Belut dan Tedung Manau yang berdiri tegak dengan wajah bengis mencari simpatik dari sebuah kehidupan tak berkutik.

“Hai Belut dan Tedung Manau, apa kalian tidak ingin menyudahi pertikaian ini?”

“Bagaimana mau berakhir, kalau Buaya Putih tak mau bertemu untuk berbicara?

“Dia tidak seperti itu! Aku yakin kalau kalian melepaskan senjata itu Buaya Putih akan mau bertemu apalagi jika sama-sama menghadap Sang Raja” kataku memastikan.

“Dia tidak bersedih dengan pertikaian ini. Bahkan dia menginginkannya untuk membangun citra terdzolimi”. Bentak Tedung Manau.

“Tapi bagaimana denganmu? Apa kau lebih bahagia? Apa kau tidak bersedih juga sekarang? Kau tahu dia mengasihimu, dan itu menanggung beban berat. Ia sangat memperdulikan kalian, memperhatikan bahkan menyayangi kalian dengan sepenuh hati, karena kalian adalah cikal bakal panglima yang ia impikan”, aku mengingatkan mereka. “Dan bayangkan jika terjadi padamu, kau mengasihi seseorang yang selalu membencimu, bagaimana rasanya?” tanyaku lagi.

Belut dan Tedung Manau hanya terdiam. Bendera keangkuhan yang mereka pancangkan dengan penuh semangat mulai tersobek-sobek. Warna merah yang dibanggakan atas melesatnya keharuman nama keberfihakan pada rakyat jelata yang tak mengerti telah tercemarnya bendera oleh tetesan darah sang mantan pembawanya tetap mereka kibarkan. Tongkat kayu diacungkan setinggi-tingginya ke angkasa. Menandakan perang tak akan pernah usai.

===000===

Dalam kegaduhan penduduk negeri dasar sungai memudahkan manusia-manusia durjana menghujamkan tombak-tombak ke tubuh-tubuh yang dihuni oleh jiwa rapuh. Sang Raja sudah tak pernah peduli pada kekacauan masa kini. Yang ia pikirkan hanya tentang kehormatan juga keselamatan.Tak ada peluang untuk memahami kebahagiaan keluarga dan para pejuang.

Banyak penduduk negeri menahan geram terhadap rajanya. Begitu pun kepongahan para petinggi yang ingin menggulingkan singgasana Sang Raja. Beliau tak bergaul dengan lingkungannya. Ia hanya sibuk berburu dan bersembunyi di hutan bakau. “Berburu adalah hiburan mengasyikkan”, pikir Sang Raja. Ia tersenyum saat meninggalkan jejak kepemimpinannya yang telah porak poranda. Ia tak tak peduli kemana perginya Buaya Putih. Ia tak sudi untuk mengetahui keberadaan Belut dan Tedung Manau. Puing-puing hancurnya suatu negeri sudah menjadi sejarah. Aku, Sang Kancil kini menjadi saksi sebuah kejadian.

===000===

Tedung Manau : Ular Sendok

Sungai Belida : Sungai Kecil yang bermuara ke Sungai Musi

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline