Lihat ke Halaman Asli

Dues K Arbain

Menulis untuk membungkam pikun

Mencari Tanah Pengharapan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jadi, kamu ingin menguasai negeri ini, Achong?” tangannya gemetar memegang tongkat yang sudah berwarna usang. Jemarinya dikepalkan, giginya gemelutuk, matanya tajam menahan amarah yang sudah memuncak. Ia memperlihatkan semangat nasionalisme, patriotisme, bahkan chauvinisme yang tinggi.

Aku hanya tertawa, menertawakan kebodohannya. “Tanah leluhurku sudah habis, mereka perlu tempat untuk berkembang biak!”.

“Aku yang telah mengangkat derajatmu. Aku yang telah membawamu ke nirwana ini. Aku jadikan kamu sebagai pejabat kepercayaan. Lalu kini engkau menghianati itu semua?!” Ia menghardikku dengan geramnya.

=====

Ia memiliki kecintaan yang sangat besar pada negeri. Walaupun kulitnya sudah mulai keriput di sana sini, bahkan sebagian sudah retak bagaikan kulit ketimun tua, namun jika berbicara mengenai keutuhan negara, maka darahnya laksana tersulut api nan tak kunjung padam.

Tapi aku? Aku adalah korban negeri ini. Sepuluh tahun yang lalu, orang-orang keturunan China Daratan yang tinggal di negeri Dwipayana ini hampir musnah dibumihanguskan oleh pemerintah yang dzolim. Hanya beberapa orang saja yang selamat karena kebaikan penduduk untuk melindunginya. Salah satunya aku, yang akhirnya hidup seperti di tanah tanpa harapan.

“Andai aku jadi penguasa negeri ini?” Aku bergumam sambil melihat ke langit yang mendung. Membiarkan rintik-rintik hujan mengalir bersama derasnya air mataku. Membiarkan kilat menjilati awan yang bergemuruh dihantar petir bertubi-tubi.

“Kau tahu, hanya melalui politik kau bisa masuk ke dalam kekuasaan. Saat ini gerakan-gerakan politik sangat dahsyat. Penduduk pribumi sedang mendirikan partai-partai baru di mana-mana. Tentu saja mereka butuh dana dan orang-orang yang mau berkecimpung di dalamnya. Ini kesempatan awalmu. Lakukan atau kau akan terlambat!”. Hardik kakekku yang melarikan diri ke China Daratan karena disangkakan melakukan korupsi terstruktur di bank milik negeri Dwipayana.

=====

Lalu jalan itu terbuka lebar. Seiring gencarnya gerakan-gerakan separatis dan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para penduduk pribumi, membuat aku mampu bermain cantik dalam percaturan politik mereka. Berkorban dengan pola hidup sederhana bukanlah suatu yang sulit. Tidak ikut menikmati uang jarahan ataupun upeti dari orang-orang yang berkepentingan denganku adalah perkara yang mudah. Bersih-bersih diri dengan mengangkat semua kebaikan humanis dengan memprovokasi setiap kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negeri merupakan keahlianku.

Diam-diam dari China Daratan kakek terus memantau sepak terjangku. Ia membayar media-media mainstream dan media besar yang terafiliasi dengan berbagai percukongan internasional untuk selalu menghembuskan segala kegiatanku menjadi baik dimata pembaca atau penikmat berita. Rakyat Dwipayana memang mudah dipengaruhi. Mereka hidup dalam garis kemiskinan dan ketololan. Sehingga mereka bangga jika dapat beropini tentang segala sesuatu yang didengar, dirasa ataupun dilihatnya. Karena ia akan merasa lebih pintar dari orang-orang tolol lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline