Teori Evolusi yang dicetuskan Charles Darwin pada tahun 1857 dalam buku fenomenalnya On the Origin of Species by Means of Natural Selection, tampaknya menjadi shocking effect bagi umat beragama. Hal yang mengejutkan sebenarnya bukan karena pandangan Charles Darwin yang mengatakan bahwa organisme-organisme yang ada sekarang berasal dari organisme-organisme sederhana di masa lalu, tapi kenyataan bahwa Darwin juga memasukkan manusia dalam proses evolusi tersebut.
Pendapat tersebut dipandang sangat bertentangan dengan ajaran agama yang secara jelas tercantum dalam Kitab Suci, bahwa manusia diciptakan oleh Allah (bdk. Kitab Kejadian). Argumen Darwin tentu saja menjadi sebuah dilema bagi umat beragama pada saat itu. Apakah meyakini pendapat Charles Darwin, atau justru taat kepada ajaran agama yang menyakini keberadaan Adam dan Hawa?
Gejala yang kurang lebih sama juga terjadi saat kemunculan sekularisme. Bangsa Eropa yang awalnya merasa ketakutan dengan dominasi Gereja mulai menyatakan otonominya hingga melahirkan paham sekularisme yang sampai sekarang masih sangat masif di negara-negara Eropa. Gereja yang sebelum abad ke-15 selalu memandang bahwa ketaatan kepada Kitab Suci dan ajaran Gereja adalah hal yang mutlak, mulai kehilangan dominasinya.
Bahkan ilmu pengetahuan yang dulunya dimusuhi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Gereja, mulai menjadi primadona yang dianggap lebih menawan. Akhirnya istilah sekularisme muncul untuk kali pertama pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake. Negara dan Agama menjadi dua kekuatan yang tidak boleh saling mencampuri.
Kedua fenomena di atas merupakan bukti bahwa selama berabad-abad, kepasrahan terhadap agama dan ilmu pengetahuan sebagai konsekuensi dari manusia yang berakal budi, kerap mengalami pertentangan. Pada satu sisi, manusia memiliki status sebagai umat beragama yang tentu saja harus menjalankan peranannya dengan baik.
Di sisi lain, manusia juga memiliki akal budi yang keberadaannya tidak bisa disangkal begitu saja. Bahkan sebagai umat beragama, akal budi harusnya dipandang sebagai sebuah anugerah dari Allah. Sebuah anugerah yang mau tidak mau harus digunakan dengan baik. Apa gunanya Sang Pencipta memberi akal budi jika tidak digunakan dengan baik? Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara mendamaikan kedua hal tersebut?
Di dunia yang kompleks ini, tidak ada yang benar-benar sempurna atau mendominasi. Semuanya saling membutuhkan. Sejarah membuktikan bahwa justru agamalah yang pertama kali mendorong dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada awal perkembangannya, Kristen justru mempelopori penerjemahan karya-karya Yunani kuno yang menjadi landasan ilmu pengetahuan. Bahkan Gereja juga menjadi pelopor dalam munculnya universitas-universitas pertama seperti Bologna, Paris, dan Oxford.
Hal yang sama juga dilakukan oleh agama-agama lain pada abad 9-13. Artinya, sebenarnya agama sejak awal sudah menjadi pendorong munculnya ilmu pengetahuan. Tapi tampaknya ideologi-ideologi yang cenderung menutup diri terhadap dunia menjadi mendominasi hingga justru agama jugalah yang pada akhirnya menjadi lawan utama ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah ilmu yang awalnya dimotori oleh agama, ilmu pengetahuan sebagai manifestasi dari akal budi tampaknya justru memperoleh otonominya sendiri. Tapi hal yang patut diwaspadai adalah bahwa hal tersebutlah yang memunculkan kesombongan dalam diri manusia.
Kecemerlangan akal budi justru berpotensi membuat manusia hidup dalam otonomi mutlak hingga mendewakan diri sendiri. Hal ini berbahaya. Tepat pada sisi inilah agama berperan dalam mengembalikan manusia kepada kebaikan dan pencarian makna hidup. Akhirnya, agama dan akal budi justru saling membutuhkan. Karenanya, umat beragama harus pasrah, tapi pasrah yang beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H