Petugas haji non kloter ditempatkan di tiga daerah kerja (daker) yakni daker Mekah, Jeddah dan Madinah. Selepas umroh, petugas haji daker Mekah langsung menuju ke wisma haji Mekah, petugas daker Madinah menuju Madinah dan petugas daker Jeddah kembali ke Jeddah. Masing-masing daker dipimpin oleh Kepala Daker, biasanya setingkat pejabat eselon tiga di kementerian.
Wisma haji Indonesia Jeddah, disitulah tempat tinggal mereka selama bertugas di Jeddah. Letaknya di Madinah Street. Wisma berlantai delapan ini fasilitasnya memadai. Kamar yang ditempati untuk enam orang dengan tempat tidur bersusun. Petugas media center Jeddah yang berjumlah 13 orang menempati kamar di lantai tiga.
Sesuai jadwal, hari ini kloter pertama jamaah haji Indonesia tiba. Artinya, saatnya petugas haji menunaikan tugasnya melayani jamaah. Konsentrasi petugas Daker Jeddah saat keberangkatan jamaah haji adalah di bandara King Abdul Azis. Para petugas menggunakan sistem shift untuk menjaga kondisi tubuh. Apalagi di Arab Saudi perubahan iklimnya sangat ekstrim.
Hari itu, Zul, Kohar dan Bang Badrun mendapat giliran shift pertama dari pagi sampai sore. Tugas utama media center melakukan peliputan berita selama di Arab Saudi untuk dipublikasikan di situs informasi haji milik pemerintah dan di media masing-masing. Untuk peliputan, mereka disediakan sebuah mobil dengan seorang driver bernama Syaiful. Dia seorang mukimin, orang Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Pria asli Madura ini tinggal bersama istrinya di Jeddah selama 5 tahun.
Selain fasih bahasa Arab, Syaiful juga hafal jalan-jalan di Jeddah.
"Kalau musim haji tiba, kebanyakan mukimin ingin menjadi petugas haji," cerita Syaiful.
Menurutnya, para mukimin ada yang bekerja sebagai sopir, penerjemah, tukang masak dan sebagainya. Pengetahuan wilayah dan bahasa Arab menjadi nilai tambah para mukimin.
"Kita diseleksi di Konjen, tidak semuanya lulus," ujar Saiful seraya melaju mobilnya.
"Alasannya apa jadi petugas?" tanya Kohar.
"Ya fulus (uang), kalau kita bertugas di musim haji digaji tujuh puluh riyal perhari, kalau ada perjalanan dinas ke luar kota ada tambahan, ya minimal sebulan dapat 2500 riyal. Kalau sopir pribadi, gaji kita hanya seribu riyal. Sementara biaya hidup di sini tinggi. Untuk kontrak rumah saya saja sebulan empat ratus riyal," kata Syaiful.
"Apa majikan mengijinkan?" tanya Zul.
"Tergantung majikannya, kalau pengertian dikasih cuti dua bulan. Kalau yang kaku ya nggak. Tapi ada juga yang nekat keluar dari pekerjaan, terutama yang gajinya kecil. Apalagi pembantu, gajinya hanya 600 riyal, mendingan jadi juru masak untuk petugas," jelasnya.
"Oh ya sebentar lagi kita sudah masuk bandara. Di depan ada check point, tolong disiapkan kartu ID-nya," Syaiful mengingatkan.
Zul langsung memegangi kartu yang terpasang di saku baju. Badrun, sibuk mencari kartunya.
"Oh , ini dia di tas, syukurlah," ujarnya lega.
"Waduh, kartuku ketinggalan," teriak Kohar panik.
Rombongan pun kaget, bagaimana bisa ID Card Kohar ketinggalan. Padahal sebelum berangkat dia yang berteriak paling kencang, mengingatkan yang lain untuk membawa kartu ID.
"Wah gimana nih, bisa dihukum," ujar Syaiful kebingungan.
Sementara mobil terus meluncur. Beberapa meter lagi pos pemeriksaan. Dua askar ceking, satu petugas bersorban putih dan dua tentara berbadan kekar dengan kumis tebal menghentikan mobil mereka. Ini negeri orang, nyali mereka tidak sebesar di negeri sendiri. Apalagi nyali si Kohar, dia mulai gelisah. Mobil berhenti dan kaca dibuka. Mereka pun menunjukkan identitas. Giliran si Kohar, tentara Arab memintanya turun. Kohar masih diam, dia tidak paham bahasa Arab.
Syaiful mecoba menjelaskan pada tentara itu. Bahasa Arabnya lumayan lancar, jadi nyambung. Sepertinya dia tidak bisa meyakinkan petugas keamanan. Syaiful turun dari mobil, bicara dengan petugas bersurban. Namun usahanya menemui jalan buntu. Dengan muka lesu Syaiful menuju mobil.
"Kohar turun dulu ya, nanti ada petugas Daker yang jemput," ujar Syaiful.
Kohar tampak ketakukan. Dengan gemetaran ia keluar mobil.
"Jangan lama-lama ya," pintanya memelas.
'Insya Allah," jawab Syaiful.
Mobil mereka berjalan pun masuk bandara. Kohar digiring dua orang tentara masuk ke pos jaga.
"Tentara itu akan menghukum Kohar dijemur matahari, tapi saya minta keringanan ke petugas bandara, akhirnya Kohar hanya disuruh berdiri mematung di gardu sampai petugas Daker datang menjemput," jelasnya.
"Gak bilang lupa bawa kartunya," tanya Badrun.
"Awalnya saya bilang begitu, tapi mereka nggak mau tahu, polisi disini tidak ada ampun dan tak bisa disuap," jelas Syaiful.
"Oh berbeda dengan di negeri kita dimana hukum bisa dijualbelikan," ujar Zul.
"Di negeri kita, korupsinya cuma setiap era berganti caranya," ujar Badrun.
"Maksudnya..." Zul belum paham.
"Iya, jaman orde lama, korupsinya diatas meja. Jaman orde baru, korupsinya diatas meja, jaman reformasi sekarang, meja nya ikut dikorupsi..."canda Badrun.
Semua tertawa.
***
Sesampai di bandara, mereka menuju kantor petugas Daker untuk melaporkan kejadian yang menimpa Kohar. Untung ada pak Fauzi, kepala Daker Jeddah. Dia lantas membuat sepucuk surat dengan tulisan Arab. Surat itu diserahkan ke stafnya untuk diberikan pada petugas check point bandara. Sayang, stempelnya tertinggal di wisma haji Jeddah. Terpaksa, Syaiful harus mengambil stempel dulu ke sana.
"Wah, nasib Kohar hari ini lagi apes, disandera orang Arab," celutuk Badrun.
"Tapi ini akan jadi berita yang menarik untuk ditulis," sahut Zul.
Badrun nyengir sambil berlalu.
Akhirnya tinggal Zul dan Badrun bertugas di bandara. Kloter pertama dari Jakarta telah tiba. Mereka berkumpul duduk di karpet dan terlihat kelelahan. Zul menghampiri kepala rombongan untuk mengetahui kondisi jamaah. Sementara Badrun wawancara dengan seorang jamaah cilik. Petugas lain pun memberikan pelayanan sesuai bidang masing-masing.
Jelang siang, Zul duduk rebahan di kursi kosong. Seorang pria tua Arab bagian kebersihan bandara menghampirinya. Pria tua dari Yaman ini nampak lapar. Zul mencari makanan yang tersisa di balai kesehatan. Petugas kesehatan, bernama bidan Gayatri menyapanya.