Papua, Tanah Mama yang Terluka
Kasus penginjakan kepala warga Papua oleh oknum Polisi Militer Angkatan Udara di Merauke pada 27 Juli 2021 silam membuat luka di Papua makin menganga. Meskipun Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Fadjar Prasetio telah meminta maaf dan akan memproses hukum pelaku penganiayaan, namun bagi masyarakat Papua, itu hanya akan membuka luka lama yang selama ini terpendam.
Papua adalah daerah otonomi khusus yang sangat sensitif seperti Propinsi Nangroe Aceh Darusssalam. Keduanya diberikan hak istimewa atau khusus karena unik dan berbeda dari sisi sejarah dan dinamika masyarakatnya. Di kedua daerah ini muncul gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Di Aceh, gerakan ini bisa diredam, namun di Papua gerakan ini masih cukup masif terutama di sekitar pegunungan Puncak Jaya.
Sebagai orang yang pernah berkunjung ke Papua dan berinteraksi dengan masyarakat lokal, saya sangat memahami karakter Papua. Pada dasarnya warga Papua cukup bersahabat, namun ketimpangan ekonomi dan pembangunan dengan Indonesia Barat membuat mereka merasa dianak tirikan. Apalagi Papua menyimpan sumberdaya alam yang luar biasa. Satu diantaranya tambang emas Freeport yang sampai saat ini masih berproduksi dan menjadi komoditas andalan Papua.
Bagi orang Papua, hutan adalah tanah mama, tempat 250 suku Papua hidup di dalamnya. Masuknya orang diluar Papua yang menggunduli hutan, melakukan penambangan bagi orang papua adalah melukai tanah mama. Masyarakat asli papua sangat akrab dengan alam dan wilayah pegunungan. Tanah mama adalah tanah yang dilestarikan dari generasi ke generasi.
Pemerintah dalam berapa dekade terakhir mulai mencuri perhatian warga Papua. Dana otonomi khusus dari Jakarta pun digelontorkan, pembuatan tol lintas Papua yang kontroversial mulai digulirkan dan bahkan PON 2021 bulan Agustus 2021 mendatang akan dilaksanakan di tanah Papua.
Namun pendekatan fisik itu tidak cukup, Papua harus diperlakukan dengan hati sebagai saudara yang perlu pendekatan humanis, bukan konfrontatif apalagi diskriminatif. Pendekatan yang memahami kultur dan karakter sehingga mereka merasa sebagai satu bangsa yang duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Penulis mantan Aktifis Pemberdayaan Masyarakat Timika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H