Pada 30 September 2016 silam, saya mendapat undangan makan siang dari Presiden Jokowi di Istana Negara. Saya diundang sebagai aktifis media sosial bersama 30 facebooker lainnya dari seluruh Indonesia. Kehadiran para pegiat sosial media sebagai bentuk silaturahmi dan sarana saling sapa antara komunitas dunia maya dengan pemerintah. Ada banyak hal yang dibahas dalam diskusi yang berlangsung santai tersebut.
Pada kesempatan itu Presiden juga menyampaikan akan menerapkan kebijakan BBM satu harga. Presiden mengatakan sudah menginstruksikan kepada Dirut Pertamina akan memberlakukan harga BBM yang sama di Indonesia khususnya di Papua. Waktu itu, harga BBM di Papua rata-rata mencapai tujuh hingga 14 kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa. Di Kabupaten Puncak, misalnya, harga BBM berkisar antara Rp50.000-Rp100.000 per liter. Harga yang sangat jauh berbeda ini yang menjadi perhatian serius Kepala Negara. Menurut Presiden kebijakan penerapan dengan satu harga bukan masalah untung rugi namun masalah pemerataan dan ketidakadilan
Penerapan satu harga BBM adalah kebijakan yang tidak mudah. Karena pada dasarnya harga BBM dari Pertamina selama ini sudah sama, Namun karena biaya distribusi yang mahal membuat harga BBM menjadi tinggi. Tetapi meskipun tantangannya tidak mudah dan memakan biaya yang besar, Pertamina menyanggupi permintaan Presiden. Dirut Pertamina, Dwi Soetjipto, mengaku kebijakan 'satu harga BBM' akan menyebabkan Pertamina merugi Rp.800 miliar. Setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait , maka diputuskan kebijakan satu harga BBM akan diberlakukan pada 2017 mendatang.
Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro ada 3 penyebab harga BBM khususnya di Papua lebih mahal dari daerah lain.Yakni Pertama, dikarenakan di daerah tersebut selama ini tidak ada lembaga penyalur resmi BBM. Hal itu membuat Pertamina membuat kebijakan untuk menempatkan lembaga penyalur resmi BBM di wilayah terpencil agar dapat memantau distribusi dan harga BBM.
Kedua, kondisi geografis di wilayah terpencil yang sulit ditempuh, sehingga mengakibatkan biaya angkut BBM ke wilayah terpencil sangat tinggi. Akhirnya untuk mendistribusikan BBM ke wilayah terpencil, Pertamina harus menyediakan pesawat sendiri. Misalnya di wlayah Papua dimana yang tidak dapat ditempuh dengan jalur darat.
Ketiga, menurut Wianda, keterbatasan infrastruktur jalan. Hal juga membuat distribusi BBM menjadi lebih tinggi. Masalah semacam ini yang perlu dicarikan jalan keluarnya agar harga BBM di daerah terpencil seperti Papua bisa ditekan sedemikian rupa sehingga harganya bisa sama dengan harga BBM di daerah lainnya.
Untuk mengatasi kelangkaan infrastruktur transportasi di wilayah Papua, Pertamina telah menyiapkan dua buah pesawat pengangkut BBM jenis Air Tractor AT-802 dengan kapasitas angkut 4.000 liter. Tiga pesawat serupa akan dibeli untuk melayani distribusi BBM di wilayah Kalimantan Utara dan daerah terpencil di Kalimantan.
Inilah tantangan distribusi BBM yang dialami Pertamina terhadap daerah-daerah yang tidak memiliki jalur transportasi yang memadai. Selain Papua beberapa daerah yang sering mengalami kesulitan BBM adalah Kalimantan Tengah dan Utara.
Komitmen Distribusi Energi Pertamina
Pertamina sebagai perusahaan milik Negara yang bertugas mengelola dan mendistribusikan BBM ke seluruh Indonesia memegang tanggungjawab untuk menyediakan stok BBM sehingga tidak terjadi kekurangan. Pertamina berkomitmen untuk mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan BBM ke seluruh masyarakat Indonesia. Tantangan berupa medan yang sulit tidak menjadi penghalang bagi Pertamina menghadirkan energi bagi masyarakat negeri ini.
Perlu diketahui dalam Distribusi Energi Pertamina menggunakan 273 kapal tangker , 7 kilang minyak dan 111 unit terminal BBM. Selain itu Pertamina menyediakan 6.865 unit outlet retail atau SPBU, 64 Unit DPPU Aviasi, dan 2856 mobil tangki.