Lihat ke Halaman Asli

Dudun Parwanto

Penulis, Traveler

Listrik, Kebutuhan & Tanggung Jawab Kita Semua

Diperbarui: 14 April 2016   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Listrik Pintar PLN "][/caption]

Ketika krisis global melanda Korea Selatan beberapa tahun silam , keuangan negara minus, hutang pun bertumpuk. Rakyat korea selatan pun tak tinggal diam menyaksikan pemerintah berjuangan sendirian mengatasi krisis. Dengan kesadaran tinggi masyarakat Korea Selatan membantu pemerintah dengan menjual aset pribadinyanya untuk membantu keuangan negara. Dan setelah itu hitang negara turun signifikan. Pemerintah pun bersemangat memajukan bangsanya. Bahkan Ibu-ibu di korea selatan tak lagi memakai cincin dan kalung saat itu, dan rela menyumbangkan untuk negara. Tujuannya satu, demi kemakmuran bersama. Itulah iuran kolosal sebuah bangsa tanpa ada imbauan dari pemerintah, mereka merasa satu negara baik dalam suka maupun duka.

Sementara di negeri yang katanya rakyatnya hidup rukun, suka bergotong royong dan menerabkan azas kekeluargaan, ketika negara kesulitan keuangan apa yang terjadi? Jangankan membantu, masyarakatnya malah mencaci maki, menyalahkan pemerintah dan mendesak agar rezim yang berkuasa mundur. ketika negara harus berhutang, banyak mobil mewah berkeliaran di jalan, orang belanja mall masih ramai dan kalung dan cincin ibu-ibu masih terparkir indah di badannya. Boro-boro masyarakat melakuka iuran kolosal, mereka mementingkan diri sendiri. Masyarakat malah mengamankan aset masing-masing dan mencari investasi yang aman agar dananya tidak terimbas krisis. Ironis memang.

Krisis Listrik

Sampai 2014, kapasitas listrik yang terpasang di Indonesia hanya 55 ribu Megawatt (MW), cukup rendah jika dibandingkan dengan China yang memiliki kapasitas mencapai 1,3 juta MW. Hingga saat ini, bangsa Indonesia masih mengalami kekurangan energi listrik. Cadangan listrik yang ideal sebuah Negara adalah 30%. Sementara cadangan listrik di Indonesia sangat rendah hanya 10%, bandingkan dengan cadangan listrik Singapura yang mencapai 100%. Artinya, jika ada gangguan pada sistem kelistrikan di tanah air, maka sangat rentan dengan pemadaman.

Ketika pemerintah mencanangkan program 35 ribu MW untuk menerangi negeri ini, jangankan dukungan kebanyakan orang malah mencibir dan pesimis. Ada yang bilang program pemerintah sebelumnya 10 ribu MW saja gagal apalagi 35 ribu, yang dianggap sekelompok elit tidak realistis. Sebagian lagi malah berpikir bisnis, aji mumpung, mengambil untung karena proyek yang nilainya ratusan triliun. Mafia tanah pun membeli tanah yang akan dibebaskan pemerintah berharap mendapat margin tinggi jika dibeli negara. Masyarakat menuntut ganti untung selangit  dengan dukungan LSM dan sebagainya. Segelintir Politikus dan birokrat rebutan untuk mendapat bagian dengan bermain sebagai regulator dan eksekutor. Katanya demi kemakmuran bersama, tapi bukan bersama rakyat melainkan bersama keluarga dan kroni-kroninya.

Saat ini memang kesadaran masyarakat untuk tujuan demi kepentingan negara sangat rendah. Menurut cerita teman saya yang bekerja di PLN ada sebuah lahan yang diatasnya dialiri oleh saluran tegangan tinggi atau SUTET. Pemilik tanah minta tanah mereka dibebaskan oleh PLN dengan harga yang tak masuk akal. Namun PLN saat ini tidak punya wewenang untuk membebaskan lahan. Disamping itu sudah banyak karyawan PLN yang terpaksa meringkuk di jeruji besi gara-gara masalah pembelian lahan yang dinilai merugikan negara. Padahal sebenarnya harga itu memang mahal dari warga dan terpaksa dibebaskan demi proyek bisa berjalan. Karena tak kunjung dibeli, maka warga lahan tersebut menanami tanaman yang cepat tumpuh dan tinggi sehingga mencapai saluran sutet 70 Kv. Setelah berapa bulan pohon itu menjulang tinggi dan warga tersebut mau menebang jika PLN memberikan ganti rugi. Akhirnya setiap 3-4 bulan PLN dijadikan mesin "ATM "nya.

Masih banyak contoh kasus lain yang mengindikasikan vahwa Kesadaran yang tidak dimiliki warga dalam membela kepentingan umum atau negara sangat rendah. Mereka masih mencari kuntungan pribadi. Apalagi di era reformasi sekarang ini, banyak proyek yang terpaksa berhenti akibat egosisme warga yang tanahnya tak mau dibebaskan. Mungkin mereka tidak pernah mendengar bagaimana masyarakat Korea selatan bahu-membahu membantu negara mengatasi krisis keuangan. Mungkin Mereka tidak melihat bagaimana rakyat Jepang merelakan lahannya untuk kepentingan negara. Atau mungkin mereka tidak pernah belajar sejarah, bagaimana bangsa ini dulu mengorbankan harta dan nyawa demi kemerdekaan.

Seharusnya masalah listrik ini adalah tanggung jawab nasional, karena peruntukannya bagi kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya tanggungjawab PLN atau instansi yang terkait. Masyarakat harusnya lebih peduli untuk berkorban demi negara dan fasilitas umum. Karakter dan Jiwa Pancasila yang terpatri dalam sila Persatuan Indonesia harus dimaknai sebagai sikap nasionalisme atau mau berkorban untuk tanah air tercinta. Semangat rela berkorban inilah yang mesti didahulukan tanpa mengesampingkan hak-hak yang akan didapat dalam pembebasan lahan. 

Peran serta masyarakat dalam program 35 ribu MW sangat vital terutama dalam masalah sosial yang menyelimuti, yakni pembebasan lahan dan dampak sosial lainnya. Pemerintah harus hadir dan memberikan edukasi dan peningkatan karakter bangsa sehingga warga negara akan sadar dan mau berpartisipasi demi kesuksesan program listrik 35 ribu MW. Toh, semua ini ujungnya adalah demi kemakmuran bersama.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline