Episode sejarah bangsa ini menjelaskan bahwa dahulu kala Belanda memberi dukungan pada bangsa kita untuk membangun tempat-tempat ibadah; mesjid, gereja, bahkan pasar dan beberapa fasilitas publik lainnya. Namun bila rakyat dan bangsa kita mulai memperlihatkan ada kumpulan dan kelompok tertentu yang berorientasi politik maka akan segera dihabisi.
Dogma dan stigma dari kolonialis Belanda yang diinjeksikan pada otak-otak bangsa Indonesia adalah jangan bermain politik! Jangan tekuni dunia politik! Jauhi politik! Politik itu kotor! Menghalalkan segala cara dan tak cocok bagi masyarakat dan agamawan yang rajin ibadah. Beribadahlah dengan baik, jadilah warga masyarakat yang konsen pada profesi masing-masing.
Itulah setidaknya sebuah ujaran yang mencuci otak ratusan tahun bagi bangsa kita. Saat inipun perspektif tentang dunia politik realitasnya beragam. Ada yang alergi pada dunia politik namun ada yang tertantang untuk masuk menjadi "pemain" dalam sangkar politik. Nah bagaimana seharusnya masyarakat kita dalam merespon dunia politik?
Politik pada dasarnya adalah sebuah seni mengatur publik secara efektif. Mengatur publik membutuhkan kompetensi kepemimpinan yang mumpuni dan di atas rata-rata, agar pengelolaan kepentingan publik melahirkan kesejahteraan bersama. Hanya para pemimpin yang negarawan serta berpolitik beradab sebuah kehidupan bermasyarakat akan lebih baik. Mendatangkan manfaat, menciptakan kesejahteraan, melahirkan keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya.
Saat ini negeri kita masuk pada episode tahun politik. Segala hal bisa dipolitisir dan berujung demi kepentingan politik agar sebuah rejim politik berkuasa dan mampu menancapkan kekuasaannya secara berkesinambungan. Tidak ada sebuah rejim dengan rela melepas kekuasan pada pihak lain. Dunia politik identik dengan dunia rejim, kekuasaan kelompok tertentu dan kompetisi memainkan demokrasi demi kepentingan tertentu.
Ada beberapa profesi yang dianggap "lacur" bila masuk dunia politik yakni para ulama atau para guru. Para guru diantaranya seolah "terlarang" bila masuk dunia politik. Pernyataan ini mengingatkan kembali kita pada "fatwa" kolonialis Belanda yang melarang warganya bermain politik. Memang para guru idealnya dalam perspektif publik tidak berkiprah dalam dunia politik melainkan jadilah guru secara profesional, proporsional sebagai pendidik dan pengajar di sebuah lembaga pendidikan.
Pemerintah terutama kepada para guru ASN jangan coba-coba bermain politik. Namun apa yang terjadi justru pemerintah dalam prakteknya baik yang ada di pemerintah pusat atau daerah provinsi dan kabupaten kota realitasnya mempolitisasi profesi para guru. Tidak sedikit para kepala dinas pendidikan, para kepala sekolah dan para guru dijadikan "sandera" politik digiring menjadi tim sukses politik. Terutama di daerah, politisasi para guru sangat kental terjadi. Para penguasa lokal seolah menjadi pemilik suara para guru dalam suksesi Pilkada dan berbagai kegiatan politik. Promosi, rotasi, mutasi masih identik dengan arogansi penguasa politik lokal.
Sahabat pembaca bagi saya para guru memiliki dua tugas utama, pertama mendidik dan mengajari peserta didiknya dan yang kedua harus menjadi pendidik publik. Termasuk dalam euforia dan dinamika politik para guru harus ambil bagian menjadi entitas dari warga politik yang baik. Para guru adalah warga politik, punya hak politik dan memiliki peluang berpolitik. Guru intinya wajib berpolitik. Saatnya para guru berpolitik mensukseskan dinamika politik dimana Ia tinggal.
Politik guru adalah politik edukatif. Setiap guru harus berpolitik dan memainkan peran sebagai warga masyarakat dan warga politik yang kontributif pada perbaikan bangsa, terutama di daerah. Guru harus menjadi aktor terdepan dalam memberikan warna politik edukatif dan santun. Guru tidak menebarkan kebencian, hoaks dan seruan politik yang busuk. Melainkan menebarkan kebersamaan, toleransi, mencerahkan dan memberi informasi dan alternatif pilihan politik pada publik.
Guru punya peran strategis di masyarakat. Kehadiranya harus memberi warna positif terutama di tahun politik. Bila para guru terdiam, membisu, kaku, apatis dan tak mau tahu tentang dinamika politik maka para guru sudah meninggalkan peran pengabdiannya pada masyaraat. Guru adalah guru. Ia bisa menjadi guru secara formal ditempatnya Ia bekerja menjelaskan mata pelajaran terkait politik pada siswanya dan Ia bisa menjadi guru secara non formal bagi publik terkait politik dimanapun Ia tinggal.
Para guru wajib berpolitik dan memberi jawaban atas dinamika politik di masyarakat. Hal yang tidak boleh adalah terjun langsung dalam dunia praktis partai politik. Mengapa demikian? Karena Ia harus memilih sebagai politisi atau sebagai pendidik. Ia tidak boleh selfie-selfie dan "bergerombol" dengan para tim sukses calon para kepala daerah. Guru harus pada posisi terhormat, tidak terjun secara terbuka namun bermain secara cerdik mengedukasi publik agar memilih calon terbaik. Terutama terbaik bagi dunia pendidikan dalam upaya mencerdaswaraskan kehidupan bangsa.