Lihat ke Halaman Asli

Dasrul, Miniatur Guru Indonesia

Diperbarui: 13 Agustus 2016   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Bila ada konflik antara orangtua,guru dan anak dalam dimensi pendidikan bahkan sampai seorang guru tulanghidungnya patah memuncratkan darah dari mukanya karena dipukuli, hal inimenjelaskan sebuah realitas banalis pada pendidikan kita.  Begitupun bila ada peserta didik yangdipukuli oleh gurunya dan gurunya dipukuli oleh peserta didiknya semakinmenjelaskan ada masalah serius di internal pendidikan kita. 

Dasrul guru SMKN 2 di Makasar yangsaat ini masih terkapar di rumah sakit dan harus mendapatkan infus, sungguhmengerikan. Sejahat-jahatnya bangsa Arab Quraisy yang memiliki stigma jahiliyahdalam sejarahnya tidak ditemukan perlakuan biadab pada  guru. Bahkan tradisi Arab barbar justrumenghargai para tamu apalagi para guru. Namun di negeri kita yang katanyanegeri yang ramah dan suka gotong royong ternyata mencatat puluhan guru yangdiperlakukan tak manusiawi.

Siapa yang salah? Tentu semua pihaktak mau disalahkan.  Mari kita melihatdengan jernih mengapa  semakin banyakterjadi pelecehan, penghinaan, politisasi dan perendahan derajat profesi guru.Beberapa hal yang harus dilakukan agar penghinaan dan asasinasi terhadap guru  segera berakhir. Pertama setiap pribadi guruharus memiliki kapasitas, dan mentalitas yang baik. Guru yang bekerja masihjauh dari tuntutan profesionalismenya akan menemukan berbagai kendala.

Imunitas guru berada pada gurusendiri. Pemerintah terlalu sibuk untuk melindungi para guru dari berbagaibentuk pelecehan dilapangan, bahkan justru pemerintah sendiri terkadang masihmenjadi bagian dari pelecehan sistemik profesi guru. Guru di republik   ini masih jauh dari ideal. Upah minimumpenghasilan (UMP) yang tertuang dalam  undang-undang dan peraturan pemerintah sajabelum dapat dilaksanakan, apalagi melindungi guru secara hukum.

Derita guru terlahir dariregulasi  tentang guru yang tidakdilaksanakan pemerintah dan sebaliknya kesibukan pemerintah  dalammengurus kekuasaan dan tuntutan partai politik jauh lebih diutamakan. Bahkanbisa jadi pergantian Mendikbudpun setiap regim terkait “julan” politik bukan tujuan murni  pembangunan pendidikan.  Sungguh miris bila setiap tahun selalu adaguru yang “terluka” dan pemerintah terlihat tak peduli. Bahkan bukankah saatAop Saopudin guru di Majalengka saat dipukuli disaksikan oknum penegak hukumyang merupakan apparat pemerintah? 

Kedua, guru harus memiliki kesadarankolektif dalam membangun imunitas bersama dalam wadah organisasi profesi. Organisasiprofesi guru di Indonesia tidak menjadi contoh yang baik. Mengapa demikian?Realitasnya organisasi profesi guru terpecah belah dalam beberapa komunitassehingga daya dobrak terhadap perlindungan, kesejahteraan dan peningkatankompetensi guru melambat. Adanya FSGI, FGII, IGI dan organisasi profesi gurulainnya menjelaskan ada ketidakseiramaan antara sesama guru. Ini sebuahdinamika namun  dalam sisi kekuatankomunitas guru tidaklah baik. Bila komunitas guru Indonesia berhadapan denganmasalah yang besar dan membutuhkan persatuan guru republik Indonesia maka akansulit karena kekuatnnya terpecah. 

Semuaoragnisasi profesi non PGRI idelanya kembali kejalan yang benar untuk pulang kerumah besarnya dan rumah besar PGRI sebaiknya merevitalisasi diri agar lebih memperlihatkan karakter guru, kekuatanguru, perlindungan guru dan kepentingan guru secara keseluruhan. Selama gurutidak bersatu dan merasa merdeka untuk memilih dan mendirikan organisasiprofesinya berdasarkan visi komunitasnya maka akan semakin sulit memperjuangaknnasib para guru. Pepatah bijak mengatakan “domba yang  tersesat dan terpecah dari gerombolannya akanmudah dimangsa harimau”.  Bukankah  manusia dan birokrasi bisa lebih berbahayabila lepas dari rel idealisme dan perundang-undangan yang berlaku?

Guru-gurukita memang  masih bermasalah, baik darikeorganisasian maupun dari kapasitas dan mentalnya. Penulis pernahmenggambarkan tentang mentalitas guru Indonesia yang cenderung berkinerja belumbaik. Sederhananya  banyak guru yangmasih  terlambat masuk kerja tetapi cepat“menyelesaikan” pekerjaannya. Sebuah realitas mental dan kapasitas guru yangmasih jauh dari harapan. Selama guru-guru kita terlahir dari pribai-pribadiyang tak bangga menjadi guru, tak cinta peserta didik dan tak mengenali organisasiprofesi serta hanya menjalankan rutinitas sebagai pengajar, selama itupulapendidikan kita setiap tahun akan ada guru yang dilukai.

Ketiga,dunia lebay jurnalistik zaman sekarang telah menjadi warna baru yang memberiradiasi sangat buruk  pada duniapendidikan.  Bukankah Dasrul dilukai olehseorang onkum wartawan tabloid Berita Anti Korupsi tak berkelas yang menaikankelasnya dengan intimidasi dan kekerasan? Ini satu realitas buruk yang terjadipasca Uu No 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers.   Adnan Ahmad adalah Redaktur Desk  Tabloid yang terlahir dari regulasi pemerintahtentang kebebasan pers yang kebablasan. Semua tahu bahwa dunia jurnalismebanyak positifnya tapi ribuan okum wartawan tanpa surat kabar (WTS) dll.  menjadi masalah baru di negeri ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline