Lihat ke Halaman Asli

Cerdas Belum Tentu Waras, Benarkah?

Diperbarui: 5 Juni 2016   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Atase Pendidikan Dan Kebudayaan KBRI Malayasia Prof. Dr.  Ir . Ari Purbayanto  saat menerima pelajar dan guru dari Kota Sukabumi  di Malayasia mengatakan “Bangsa Indonesia jauh lebih cerdas dibanding Bangsa Malayasia. Pemenang olimpiade science  dunia asal Indonesia banyak. Pelajar Malayasia tidak ada yang memperoleh juara olimpiade science dunia.  Bangsa Indonesia pinter-pinter tapi ujungnya menjadi koruptor. Bangsa kita tidak sedikit bila menjadi  pemimpin menjadi penindas rakyat. Moralitas dan karakter bangsa kita rendah. Bangsa   Malayasia walaupun tidak sepintar bangsa Indonesia tetapi memiliki moralitas yang  baik maka mereka lebih maju. ”

Ilustrasi  karakter Bangsa Indonesia  menurut Prof. Dr. Ir.  Ari Purbayanto   setidaknya menjadi “tamparan” bagi kita bersama agar sadar dan bangkit bersama untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Momen hari pendidikan nasional yang telah lalu setidaknya mengingatkan kita akan  pentingnya pendidikan karakter bangsa. Malayasia bisa lebih maju dari Indonesia bukan hanya karena kecerdasan melainkan karena moralitas mereka lebih baik. Mereka tidak lebih cerdas dari bangsa kita namun mereka  lebih waras.

Tujuan nasional pendidikan kita adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Ini sangat ramah didalam memori kolektif bangsa kita maka hasilnya bangsa kita cerdas-cerdas.  Namun sayang kecerdasannya mengabaikan kewarasan. Mungkin sebaiknya tujuan pendidikan kita harus dirombak menjadi “mewaraskan kehidupan bangsa”.  Contoh kecerdasan yang tak waras adalah masih adanya oknum TNI, Kepolisian, Kejaksaan, Kepala daerah, politisi bahkan pendidik yang mengkonsumsi narkoba. Bahkan  oknum para pejabat tidak sedikit yang cukup cerdas dalam “mengumpulkan” uang negara menuju dompet pribadi atau demi dompet istri muda.  Plus tokoh agama yang “cerdas” masuk partai politik atau menjadi pendukung  calon kepala daerah tertentu. Ini cukup cerdas tapi tak waras.

Bangsa Indonesia  adalah bangsa yang besar namun menjadi sulit besar  karena   secara historis pernah “dibimbing” oleh bangsa-bangsa cerdas yang tak waras. Bukankah bangsa Belanda, Inggris, Prancis, Jepang, Spanyol, Portugis adalah bangsa yang  cerdas?  Kecerdasan mereka diakui oleh bangsa-bangsa di dunia termasuk kebiadabannya. 

Bukankah  Bangsa Belanda pernah merayakan HUT kemerdekaannya di negeri terjajah yang merindukan kemerdekaan dengan biaya dari negeri terjajah? Inilah bukti ketidakwarasan bangsa penjajah.  Sebaiknya jangan ditiru oleh bangsa kita saat ini. Jangan sampai ada pejabat yang begitu kaya raya dengan puluhan mobil mewah,  beberapa istri muda, tabungan bermilyar-milyar tetapi rakyatnya banyak yang miskin. Rakyatnya banyak terjadi perceraian karena  miskin namun pejabatnya banyak istri muda karena berlimpah rezeki.

Merefleksi Hari Pendidikan Nasional  yu kita kembali pada kewarasan bangsa. Para pemimpin  menjadi bagian dari penentu warasnya bangsa ini.  Dalam dimensi pendidikan sebaiknya mulai dari presiden sampai birokrasi terbawah seirama untuk merevolusi mental agar lebih waras dan cerdas. Presiden melayani para gubernur, gubernur melayani para kepala daerah, kepala daerah melayani para kadisdik, para kadisdik melayani para kepala sekolah, kepala sekolah melayani guru dan para guru adalah pelayan masa depan peserta didik.

Saatnya bangsa ini diwaraskan melalui pendidikan karena bangsa yang waras  lebih baik dari bangsa yang cerdas. Kewarasan identik dengan integritas dan kekuatan karakter. Mari kita semua pasca hardiknas mulai dari diri sendiri membangun kewarasan menuju kewarasan  kolektif menuju bangsa yang lebih baik dan tak kalah  oleh bangsa yang lebih kecil. Kita adalah bangsa yang besar, jauh lebih besar dari Malayasia, Singapura, Malayasia. Kita besar menjadi terlihat kecil karena moralitasnya masih “kecil”. Mereka bangsa yang kecil tapi terlihat lebih “besar” karena moralitasnya lebih baik. Pendidikan yang mewaraskan dan mencerdasakan harus  terpadu. Tak dapat dibantah proses pendidikanlah yang bisa mewaraskan bangsa. Pendidikan harus menjadi skala prioritas. Bangsa yang waras adalah bangsa yang cerdas namun bangsa yang cerdas belum tentu waras.

           

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline