[caption caption="Ilustrasi Ujian Nasional tingkat SMA. Sumber: print.kompas.com"][/caption]Pada tanggal 4-6 April Ujian Nasional (UN) jenjang SMA/SMK/MA akan dilaksanakan. UN tahun ini menjadi berbeda dengan UN sebelumnya. Mengapa demikian? Karena UN tahun ini harus terhindar dari adanya gosip “tim sukses” yang identik dengan ketidakjujuran.
Sebaliknya UN tahun ini harus lebih memunculkan indeks integritas sekolah. Tim sukses tahun ini harus identik dengan kejujuran UN dengan wajah baru gerakan kolektif menuju UN yang jujur. Integritas kolektif warga civitas akademika sebaiknya menjadi skala prioritas dalam setiap UN.
Berdasarkan data dari Kemdikbud ada 5 daerah yang memiliki Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) tertinggi adalah Kota Yogyakarta, DIY 82,37%. Kemudian Kabupaten Pangkalpinang, Bangka Belitung 81,32%. Serta, Kota Magelang, Jawa Tengah 81,26%, Kabupaten Belu, NTT 80,61%, dan terakhir Kabupaten Kaimana, Papua 80,37%.
Bila kita perhatikan dari data Kemendikbud di atas nampak dengan jelas bahwa IIUN Jawa Barat tidak masuk urutan tertinggi. Padahal IIUN menjelaskan tentang sisi kejujuran dan mentalitas kolektif setiap sekolah.
Demi perbaikan dan citra integritas kejujuran sekolah di Jawa Barat sebaiknya pada tahun ini IIUN Jawa Barat dapat meningkat lebih baik. Semoga tidak ada lagi “pesanan” dari para kepala daerah dan kadisdik tentang pentingnya kelulusan 100% melainkan berubah paradigma tentang pentingnya IIUN. Kejujuran lebih manusiawi dibanding kelulusan, kejujuran lebih menjelaskan keberhasilan pendewasaan siswa dibanding kelulusan.
Agar habituasi kejujuran dan suksesnya kelulusan akademik di sekolah berjalan normal dan istimewa maka dibutuhkan guru-guru yang “SAKTI”. Guru yang sakti adalah guru yang Sehat, Agamis, Kompeten, Terampil dan Inovatif (sakti). Guru adalah kunci dari suksesnya membangun karakter siswa.
Pribadi dan sosok yang paling dekat dan hampir setiap hari bertemu dengan siswa adalah guru. Kepala daerah, kadisdik bahkan kepala sekolah tidak sedekat guru dalam mendidik dan mengajar siswa. Mengingat realitas kedekatan ini maka kehadiran guru ”sakti” adalah sangat penting.
Guru sehat adalah guru yang berbadan sehat dan mengagungkan akal sehat, segala hal ketidak jujuran tak pernah terlihat dari dirinya. Ia menggiring siswanya sehat dalam segala hal, termasuk dalam kejujuran UN.
Guru agamis adalah guru yang menjunjung tinggi ajaran agama yang dianut dan memperlihatkan dalam keteladanannya. Guru agamis akan mengutamakan kejujuran dibanding kelulusan karena proses baik lebih penting dari hasil
Selanjutnya guru kompeten adalah guru yang memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan siswanya. Secara formal guru kompeten identik dengan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial.
Guru kompeten akan menularkan seluruh potensinya sehingga tak perlu lagi siswa berbuat tidak jujur termasuk dalam UN. Guru tidak kompeten akan melahirkan generasi tak kompeten maka bila UN menyontek bisa jadi karena guru tak kompeten dalam mengajari pengetahuan.