Lihat ke Halaman Asli

Pindah Agama Demi Negara

Diperbarui: 24 Januari 2016   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila ada seseorang  berani berpindah agama demi menyelamatkan ketatanegaraan yang masih kental dengan budaya korupsi dan  berbagai penyimpangan di negara kita akan distigma sebagai pribadi yang murtad, menjadi kafir atau ahli neraka versi agama yang ditinggalkannya. Walaupun versi agama yang dimasukinya akan disambut dan dipuja sebagai ahli surga dan orang yang mendapatkan hidayah.

Pindah agama adalah sesuatu yang sangat pribadi tetapi  dapat melahirkan kehebohan terutama bila dilakukan oleh tokoh publik. Apalagi tokoh publik itu adalah seorang   yang diduga berambisi meraih kekuasaan. Suudhon agama dan fitnah politik akan deras mengalir. Padahal dalam undang-undang di republik ini  diperbolehkan dan menjadi hak  setiap warga negara untuk berpindah atau berpindah-pindah agama sebagai hak dasar dalam mencari keyakinan kebertuhanan.

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Indonesia adalah satu negara yang memiliki peluang negara terbaik dan terbesar di dunia, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Masalahnya adalah belum ada kepemimpinan yang mampu membangunkan kekuatan bangsa Indonesia menjadi negara yang hebat. Perlu seseorang setingkat presiden yang memiliki kepemimpinan yang transformatif dan berani  melakukan revolusi dan reformasi total atas  segala kekurangan selama ini.  Dibutuhkan seseorang yang terbaik dan mendapat dukungan semua pihak.

Seseorang terbaik  bisa terlahir dari komunitas manapun asal Dia adalah warga negara Indonesia, seseorang terbaik tidak harus terlahir dari wilayah agama tertentu.  Pribadi terbaik biasanya terkait dengan karakter dan pengalaman pribadi bukan hanya agama yang dianutnya.  Agama yang dianut seseorang akan berpengaruh terhadap sikap seseorang namun sikap seseorang  lebih banyak ditentukan oleh karakternya, bukan agamanya.

Ada sosok yang sangat menarik untuk dipelajari, yakni Basuki Cahaya Purnama. Hari ini Dia adalah Gubernur DKI Jakarta  yang  ketiban amanah  karena Jokowi menjadi presiden.  Hampir tidak ada  abdi negara setingkat gubernur yang lebih “seleb” dibanding Basuki Cahaya Purnama yang lebih dikenal Ahok. Ahok adalah pribadi yang unik untuk dipelajari. Ia termasuk generasi muda pembaharu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia adalah WNI China, bukan muslim, berlatar pedagang, terkenal temperamental, anti korupsi dan siap mati  demi sebuah kebenaran, demi prinsip yang dianutnya.

Ia pernah mengatakan berani mati melawan koruptor. Bahkan Umar Zidans, seorang kolumnis di Kompasiana menuliskan “Jika ada seorang Ahok berbaju coklat PNS berani mati, mungkinkah ada yang berseragam loreng TNI berani mati melawan koruptor?  Ini sebuah  apresiasi  bagi Ahok yang  dianggap murni berani karena punya misi menegakan negara yang bersih, khususnya DKI Jakarta.

Ungkapan bernai mati demi Jakarta, demi rakyat dan kelak Ia akan berani mati demi Indonesia.  Saya memprediksi dan “mencurigai” nasib Ahok akan sampai pada titik dimana Ia merefleksi diri untuk berani mati dalam versi kematian spiritualitas pindah keyakinan. Ia akan berpikir kepentingan imannya tidak lebih penting darin kepentingan rakyat Indonesia.  Ia adalah sosok yang bisa berbuat nekad, kontroversi, radikal dan  “ganas” bila  Ia meyakini  bahwa untuk menebus  sebuah perubahan (dalam bahasa Dia transformasi)  harus melalui pindah agama.

Pindah agama demi negara adalah perbuatan nekad yang hampir tidak ada seorang pemipinpun yang melakukannya.  Bahkan yang ada saat ini adalah tidak sedikit para pemimpin begitu taat beragama, bergelar haji, meresmikan  beberapa mesjid, yayasan sosial, pendidikan di pesantren namun korup dan bahkan berani “membisniskan”  haji dan percetakan Al Quran dll. Ini realitas yang terus  masuh terjadi.  Negeri ini membutuhkan pribadi pemimpin yang “edan”  berani mengorbankan apapun demi kepentingan negara. Bukan sebaliknya berani mengorbankan  semua milik negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan paratai tertenu.

Kalau saya jadi Ahok maka saya berani pindah agama menjadi penganut agama mayoritas demi kepentingan  perbaikan ketatanegaraan. Bunuh diri bukan hanya meledakan bom  dan menewaskan ribuan orang melainkan  alangkah lebih baik “bunuh diri” positif dengan mementingkan kesejahteraan bersama.  Berani masuk neraka sendiri demi kesejahteraan  rakyat adalah tindakan yang pahit tapi harus dipilih bila peduli negara. Jangan tanya apa yang dapat  negara berikan tapi tanya apa yang kamu dapat berikan untuk negara.  Bila perlu korbankan ibu kandung demi ibu pertiwi. Korbankan diri demi negeri.  Korbankan keyaninanmu demi keyakinan orang lain.

Dalam benak Ahok mungkin perlu sebuah "kebodohan" ekstrim  untuk memperbaiki negeri ini  daripada jutaan orang pintar tapi munafik.  Ahok punya sisi lain,  Ia bersekolah sejak SD-SMP di sekolah Islam, Ia sangat mengagumi Nabi Muhammad, Ia menghajikan  ratusan orang yang tidak mampu tahun 2006  dan Ia memandanga pentingnya Mesjid sebagai tempat ibadat dan penggerak perubahan sosial DNK




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline