Lihat ke Halaman Asli

TPG Cair, HK2 Menguap?

Diperbarui: 4 November 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=".."][/caption]

Oleh :  Dudung Koswara, M.Pd

(Ketua PGRI Kota SUkabumi)

Sejumlah guru di beberapa daerah sangat bersyukur dengan sudah cairnya TPG diakhir bulan Oktober dan di awal Nopember ini.  Sebaliknya sejumlah guru Honorer Kategori 2 (HK2) sangat kecewa dengan  munculnya pernyataan Menpan-RB yang menyatakan belum teralokasikannya  anggaran dalam  APBN 2016 untuk pengangkatan honorer K2. Ini artinya  pengangkatan HK2 tidak akan terjadi pada tahun 2016.  Ini sangat menyakitkan para honorer K2 yang sebelumnya pasca demo nasional, dijanjikan akan diangkat secara bertahap dengan mekanisme yang sudah disiapkan mulai tahun  2016.

Dibulan Nopember sebagai bulan memulyakan guru karena 25 Nopember adalah bulan Hari Guru Nasional,  komunitas HK2 malah mendapatkan informasi yang bukannya memulyakan malah memilukan.  Penulis sebagai guru PNS-pun merasakan betapa “menyakitkan” informasi ini. Bahkan dalam tulisan sebelumnya penulis menjelaskan bahwa jasa guru-guru honorer di negeri ini sungguh luar biasa. Tanpa mereka pendidikan di Indonesia akan lumpuh. Hampir semua sekolah  peranan guru-guru honorer sangat strategis dan diandalkan untuk  keberlangsungan kondusifitas KBM. Bahkan berdasarkan pantauan penulis di sebuah kecamatan guru honorer mencapai 80 persen jumlahnya dibanding  guru PNS. Jasa mereka sangat luar biasa dalam berjalannya prose pendidikan di negeri ini.

Bahkan,  secara  nominal  sebenarnya  pemerintah telah disumbang oleh komunitas guru-guru honorer sebesar Rp 750 milyar perbulan. Prediksi ini berdasarkan  jumlah guru honorer se-Indonesia  berjumlah sekitar  500 ribu guru  kali Rp 1,5 juta perbulan. Mengapa 1,5 juta perbulan? Karena berdasarkan Undang-undang No 14 tahun 2005 pasal 14 guru berhak mendapatkan upah minimal di atas kebutuhan minimal, sekitar Rp 2 juta. Bila  tiap bulan rata-rata guru honorer hanya mendapat Rp 500 ribu maka secara tidak langsung para guru honorer telah menyumbangkan haknya pada negara sebanyak Rp. 1,5 juta kali 500 ribu orang guru honorer se-Indonesia maka jumlahnya  sekitar Rp. 750 milyar perbulan, fantastis.

Bila hari ini  atas nama pemerintah Menpan-RB “menjerit” tidak ada anggaran, sebenarnya jeritan para guru HK2 sudah puluhan tahun. Bukankah mereka dengan gaji dibawah Rp 500 ribu harus membiayai kehidupan keluarganya?  Bukankah gelar sarjana yang mereka sandang sebaiknya mendapatkan upah/gaji yang layak?  Sungguh naif  atau mungkin jahat bila birokrasi pendidikan di negeri ini tidak terlalu serius memikirkan nasib para guru honorer.  Apakah ini sebuah kejahatan birokrasi pendidikan di negeri ini? Mungkin ini sebuah kejahatan mengingat sumbangsih  guru honorer begitu strategis.

Mengingat proyek-proyek  kontroversial  semisal Hambalang, dana aspirasi DPR, fasilitas para pejabat yang mewah, raibnya anggaran negara karena maraknya korupsi dll, seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam memperhatikan nasib rakyat kecil (HK2).  Mereka (baca: guru honorer) adalah komunitas yang cukup berjasa dalam membantu  pemerintah dalam mencerdasakan anak bangsa. Sebaiknya jasa-jasa mereka dihargai dengan adanya seleksi dan apresiasi atas dedikasi bertahun-tahun mereka.

Seorang guru honorer bernama Imat Ruhimat  di Kabupaten Ciamis karena kepentingan menyekolahkan anak dan kebutuhan biaya keluarga  akhirnya keluar dari profesi guru karena upah/gaji yang diterima jauh dari cukup.  Padahal sebelumnya sudah dibantu dengan sambilan mengojek. Kisah Imat Ruhimat ini adalah representasi dari ribuan guru honorer yang lainnya. Sayang sekali pengabdian mereka harus berhenti karena UURI No 14 Tahun 2015 tak dilaksanakan oleh pemerintah, tentang hak guru mendapatkan gaji sekitar 2 atau 3 juta per bulan.

Pembaca yang budiman mari kita doakan negeri ini agar tidak kewalat karena memperlakukan nasib guru honorer dengan baik. Sungguh kontras disaat negara-negara lain sudah “tak memikirkan” nasib para gurunya karena sudah sejahtera dan mereka lebih berkonsentrasi pada persiapan SDM sejak pendidikan dini sampai perguruan tinggi. Makin tertinggalah kita, sebab tidak mungkin akan lahir generasi masa depan yang baik dengan menyisakan nasib sebagian guru yang buruk.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline