Lihat ke Halaman Asli

Nasib Guru SMA Pasca UU No 23 Tahun 2014

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Dudung Koswara, M. Pd

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerahberimplikasi terhadap pengelolaan pendidikan, terutama pendidikan jenjang SMA. Pendidikan jenjang SMA dikembalikan pengelolaannya pada pemerintah provinsi. Menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, ada beberapa pengelolanyang harus dibenahi yaknimengenai gaji guru, perpindahan aset dan perpindahan dana alokasi khusus, hal ini akan memakan waktu kurang lebih satu tahun sebagai masa transisi (Pikiran Rakyat,23/12/14).

Dengan lahirnyaundang-undang di atas semoga pengelolaan guru-guru jenjang SMA bisa lebih baik.Setidaknya ada beberapapermasalahan klasik yang sering munculsaatjenjang SMA dikelola oleh pemerintah daerah setingakat kota/kabupaten. Permasalahan yang dimaksud adalah; pertama mengenai politisasi guru-guru SMA. Terutama menjelang pemilukada dan pemilihan anggota DPRD, para guru SMA terkena imbasnya dan hanya guru SMA sederajat yang memiliki peserta didik sebagai pemilih pemula di kelas XII.

Tidak sedikit para guru SMA dan terutama kepala sekolah yang mendapat “tekanan” ketika menjelang pemilukada berlangsung. Jabatan kepala sekolah terkadang berkaitan dengan tim sukses pemilukada. Kepala sekolah dan guru yang memilikikedekatan dan masuk tim sukses akan mudah meniti karir atau berpindahsekolah. Seorang guru SD dapatdengan mudah menjadi guru SMA bila menjadi tim sukses. Seorang kepala sekolah dapat dengan mudah pindah dari sekolah pinggiran menuju sekolah besardalam kota. Kepala sekolah dan guruSMA sedikit banyakterkena imbas politik pemilukada.

Kedua mengenai PPDB.PPDB selalu menjadi hajatan paling hangat setiap tahun. Surat sakti dari oknum birokrat dan politisi daerah serta berbagai elemen masyarakatmembuat PPDB tidak nyaman bagi semua pihak sekolah. Kepala sekolah tidak asing bila “raib” saat-saat PPDB berlangsung, hal ini untuk mencari aman untuksaatuan pendidikan. Para kepala sekolah dan panitia guru cenderung stres pada saat PPDB. Realitasnya sekolah pavorit penuh peminat dan sekolah pinggiran minus peminat. Konflik antar sekolahpun dapat terjadi, sekolah favorit dianggap tak punya niat baik untuk membagi peserta didik dengan sekolah yang masih kekurangan peserta didik.

Ketiga mengenai jabatan kepala sekolah. Jabatan kepala sekolah menjadi “sandera” tim sukses kepala daerah. Kepala sekolah yang loyal dan berkontribusi pada proses pemilukada dijamin aman dari rotasi, mutasi bahkan pemberhentian (periodisasi). Kepala sekolah tidak ditentukan oleh prestasi melainkan loyalitas dan “pengorbanannya” pada penguasa daerah. Tidak sedikit kepala sekolah yang bermasalah kompetensinya tapi dengan mudah jadi kepala sekolah.

Keempatmengenai penanganan internal dinas pendidikan daerah yang cenderung lambat. Dimata guru-guru SMA ada sebuah persepsi kolektif bahwa penanganan dinas pendidikan jauh dari memuaskan.SDM yang masih jauh dari harapan dan banyaknya kelambatan-kelambatan dalam melayani para guru SMA. Bila kita survai bagaimana kepuasan guru-guru SMA terhadap pelayanan dinas pendidikan jawabannya cenderung tidak puas. Ini berkaitan dengan maslah SDM dinas pendidikan.

Keenam kesejahteraan guru beragam tergantung APBD. Banyak hal yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain dalam kesejahteraan guru menjadi hal yang tidak positif.Sebagai contoh, dalam sebuah lomba guru prestasi tingkat kota ada reward yang berbeda jauh. Satu kota memberi reward Rp 30.000.000 dan satu kota ada yang memberi reward Rp 600.000. Ini pernah terjadi di salah satu kota tahun 2013 pada pemberian reward guru prestasi. Ada guru yang mendapat umroh karena guru prestasi ada yang hanya mendapat Rp. 600.000. Ini menjadi diskusi yang hangat ketika para guru prestasi berkumpul di tingkat provinsi.

Ketujuh mengenai apresiasi guru berprestasi. Guru-guru berprestasi terkadang rewardnya terabaikan. Tidak sedikit guru-guru berprerstasi karirnya tidak jelas karena politisasi kepentingan penguasa daerah.Guru berprestasi hanya menjadi kegiatan rutin yang sepi peminat karena reward dan promosi tidak jelas. Jawa Barat cenderung kalah ditingkat nasional karenapengelolaan guru-guru berprestasinya kurang maksimal.

Kedelapan mengenai kenaikan pangkat. Tidak sedikit guru-guru yang kenaikan pangkatnya terlambat atau kurang tertangani dengan baik. Menurut Ade Fathurahman salah seorang guru SMAmenjelaskan bahwa , ada beberapa guru diangkat jadi PNSnyabersamaan tapi kenaikan pangkatnya berbeda melintasi lebih satu tahun dengankredit poin kepangkatannya tidak jauh berbeda. Ada juga yangkredit poinnya cukup bahkan berlebih tapi kenaikan pangkatnya terlambat. Ini realitas yang membuat iklim guru ditingkat daerah agak terganggu dalam hal kepangkatan. Plus yang lebih parah adalah adanya kenaikan pangkat menuju IV B dengan mengggunakan sejumlah nominal. Dilapangan ini terkenal dengan istilah aspal, kenaikan pangkat yang asli tapi plasu.

Kesembilan mengenai distribusi guru. Terjadi keberagaman jumlah guru dan rasio guru yang tidak normal di beberapa daerah.Guru di daerah terpencil terkadang rame-rame mengurus mutasi menujusekolah di tengah kota atau dekat kampung halamannya. Akibatnya sekolah dipinggiran kekurangan (baca: ditinggalkan)guru.Ini menjadi semakin sulit ketika “surat sakti”oknum dari dinas pendidikan bermain atas nama tim sukses. Kekurangan guru di daerah menyebabkan guru mengajar pelajaran yang bukan bidangnya.

Demikian setidaknya “PR”pemerintah provinsi dalam mengelolapara guru jenjang SMA sederajat. Semoga pengelolaaan guru dibawah pemerintahan provinsi bisa lebih baik, bukan sebaliknya.Bila pengelolaan provinsi lebih baik maka pembangunan pendidikan melalui para guru dapat lebih baik menuju era kemandirian dan era berkepribadian. Selamat berjuang pemerintah pusat mengelola Perguruan Tinggi. Selamat berjuang pemerintah provinsi mengelola pendidikan menengah dan selamat berjuang pemerintah kota/kabupaten dalam mengelola pendidikan dasar.

Realitas tiga dimensi pengelolaan pendidikan di atas menjadi penentu bagaimana menyelamatkan pendidikan Indonesia yang disebut Mendikbud Anies Baswedan dengan istilah “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”.Pada dsarnya dimensi pendidikan bukan kapal induk apalagi kapal pesiar melainkan kapal perang yang harus siap siaga dalam menghadapi peperangan perubahan dan tantangan zaman yang semakin kompleks. Bila dimensi pendidikan terlambat dan tertinggaldari kemajuan maka bencana masa depan bagi peradaban bangsa tinggal menunggu waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline