Lihat ke Halaman Asli

Kharly Oktaperdana

Seorang birokrat biasa di dunia fana.

Mata Merah Pak Raja

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Pak, Pak , mau pergi kemana! Jangan dibawa!” terisak.

“Brak” bunyi dawai pintu terbanting keras.

Malam ini kesekian kalinya Bu Maya mencoba menghalangi suami nya pergi. Pergi dengan mata itu. Mata yang merah. Dawai pintu itu hanya menjadi saksi bisu setiap episode rumah tangga Bu Maya dan suaminya, Pak Raja. Mungkin sesuai dengan namanya Pak Raja seperti seorang dictator di rumahnya. Dia raja, berhak melakukan apa saja, begitu mungkin paradigma di otakknya.

Aku memang tidak terlalu mengikuti derita dan cerita Bu Maya. Sebagai tetangga, untuk urusan yang satu itu aku tidak berani ikut campur. Beberapa kali memang aku dan istriku membantu mengobati luka-luka memar pukulan Pak Raja. Dalam hati ku berpikir pasti kayu saja patah menerima pukulan-pukulan dari tangan kekar itu. Bahkan merapikan rumah Bu Maya yang berantakan karena amukan atau kotor karena muntah “si Raja Mabuk” pun sering kami lakoni. Kasihan saja melihat Bu Maya yang tak kuat bangkit lagi setelah menerima semua serangan itu harus membersihkan itu semua sendirian.

Semua bisa ku bantu sebagai tetangga yang baik tapi soal menghadapi si pemilik mata merah itu, aku tak berani. Menakutkan.

“Semalam, kalian dengar rebut-ribut lagi gak di tempat Bu Maya?” Bu Tari membuka arena gosip, arena memakan bangkai saudara sendiri. Huh…

“Iya, kali ini sepertinya pertengkaran kali ini paling heboh deh. Masa suara piring pecah, barang-barang yang dilempar, bahkan teve saja sampai dibanting.” Timpal yang lain.

STOP! Kataku dalam hati. Kalau gosip memang selalu seru.

Hasil curi dengarku dari kicauan ibu-ibu pembeli dagangan sayuranku, semalam Pak Raja main serong lagi. Setelah membongkar lemari baju istrinya, dia “mencuri” kalung warisan Bu Maya. Bu Maya berusaha mempertahankan harta satu-satunya yang tersisa tapi apa daya. Setelahnya, entah, entah apa yang terjadi sudah tertebak. Sudah biasa hal ini terjadi, bak menonton tinju internasional Muhammad Ali melawan anaknya, tak seimbang. Sebenarnya aku pun mendengar ceritanya langsung dari Bu Maya ketika membantunya semalam. Iya semalam, setelah Pak Raja pergi membawa rampasannya.

Edan! Mungkin karena mata itu. Yang merah itu.

--%%%--

“Mas, Suci pamit dulu ya. Mau mengantar sarapan untuk Bu Maya di rumah sakit.”

“Iya dek. Hati-hati, sambil kasih sarapan materi, Bu Maya diingetin dek biar selalu sabar dan tabah ya.” Pesanku.

“InsyaAllah, Mas.”

Istriku pagi ini sejak dua hari yang lalu menjadi langganan rumah sakit, bukan untuk cek up kehamilan pertamanya tapi untuk ngemong Bu Maya. Iya, Bu Maya masuk rumah sakit. Wajar saja, makan saja jarang ditambah “olahraga tinju” tiap hari tentu berimbas pada fisiknya. Kata dokter, Bu Maya terkena lumpuh setelah pendarahan di otak. Innalillahi.

Aku pun harus datang ke rumah sakit sembari menunggu Joko, putra Bu Maya yang baru pulang dari nyantri, juga harus menyelesaikan beberapa administrasi. Hm, memang sehat itu mahal, alhamdulillah Ya Robb.

--%%%--

“Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam.” Jawabku dan istri hampir berbarengan. Mungkin ini si Joko yang datang. Memang aku belum pernah bertemu dengan si Joko. Sejak tamat Sekolah Dasar Joko sudah mondok sedangkan aku baru dua tahu ini menjadi tetangga Bu Maya.

“Saya Joko, Pak dan Ibu. Bagaimana keadaan Ummi?” terlihat khawatir dari tanyanya sembari tangannya mengelus dan mencium tangan umminya. Hampir sepuluh tahun merantau dan bertemu dengan Ibu yang melahirkannya dalam keadaan seperti itu sungguh tidaklah indah. Menurutku selalu ada hikmahnya dalam setiap kejadian, setidaknya setelah ini Bu Maya tidak sendiri, ada Joko.

Malam ini hingga kami meninggalkan Joko di rumah sakit. Kami hanya menceritakan keadaan Bu Maya secara proporsional saja, takut ada apa-apa jika kami terlalu bersemangat. Kami pun baru mengetahui kalau kelakuan Pak Raja yang bejat ini sejak Enam tahun lalu, ketika Pak Raja gagal nyalon jadi Bupati di kota kami. Kami tak tahu apa tindakan yang akan diambil Joko nanti. Kami hanya menasihatinya agar dia lebih focus menjaga umminya saja. Oh ya, satu lagi pesan kami, Bapakmu itu kalau marah mengerikan, matanya, matanya itu merah.

--%%%--

Sudah beberapa minggu setelah Bu Maya di rumah sakit. Keadaan sedikit tenang karena Bu Maya dan Joko memang sudah pindah. Joko memberiku modal untuk juga membuat gerobak sayur. Alhamdulillah. Aku pun tidak berjualan di warung rumahku saja, hingga lewat kota dan masuk ke desa-desa kini sudah jadi lahan jualanku.

Kabar Pak Raja? Entah, kini Pak Raja tak kelihatan lagi batang hidungnya. Kabarnya begitu kabur seperti hilang ditelan bumi. Cuma yang kuingat beberapa hari lalu aku bertemu seorang pria separuh baya di mushola dekat pasar utama di kota. Sayup ku dengar dia berdoa.

“Ya Alloh, ampunilah dosaku.

Salahku, khilafku, maksiatku.

Kuatkan agar ku bersabar atas ujianmu.

Ujian kedua permataku.

Kedua mata merahku!”

Pak Raja? Entah, entah, ku lihat ia buta dan tak lagi benar wajahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline