Lihat ke Halaman Asli

Dudi safari

Pegiat Literasi

Palestina dan Segala Akar Masalahnya

Diperbarui: 18 Oktober 2023   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar milik Tribun-bali.com

Saat kaum muslimin menguasai Bait al-Maqdis, kedamaian itu terasa selama beberapa ratus tahun. Saat agama hak ini dipaksa keluar dari tanah Bait al-Maqdis ini maka dunia menjadi tercerai berai. Tanah ini memiliki nilai (value) tersendiri.

Tetapi bukan hanya tempatnya saja Bahkan orang-orangnya pun mempunyai keistimewaan tersendiri. Hal ini terkonfirmasi dalam beberapa dalil baik dalam Alquran maupun hadis, menjadi barometer akhlak manusia dunia jika sudah rusak akhlak orang Syam maka rusaklah akhlak dunia. Syam merupakan rahim peradaban dunia.

Lebih spesial pada masjid al-Aqsa ternyata dia bukanlah sebuah masjid yang berwarna emas, tetapi lebih kepada sebuah kompleks. Persengketaan yang terjadi di sana bukan hanya sekedar sengketa kemanusiaan tapi merupakan problem keyakinan/aqidah atau agama.

Berawal dari sebuah definisi tentang Bait al-Maqdis itu sendiri ada tiga makna. Pertama, apakah Bait al-Maqdis dengan makna Masjid al-Aqsa. Kedua, apakah Bait al-Maqdis dengan makna kota Yerusalem. Ketiga, ataukah bermakna Ard al-muqaddasah (tanah suci) secara keseluruhan.

Ternyata akar masalah sengketa itu tidak terletak hanya pada kemanusiaan, tetapi lebih dalam kepada keyakinan. Sebab akarnya adalah keyakinan maka Yahudi beranggapan bahwa Palestina adalah sebuah tanah yang dijanjikan melalui gerakan kembali ke tanah Zion.

Mulailah Yahudi diaspora berkumpul kembali setelah dua kali Bait al-Maqdis dihancurkan sebab tingkah laku Yahudi yang selalu berbuat onar terhadap pemerintahan, akhirnya mereka berdiaspora ke Eropa dan berbagai negeri sekitarnya setelah terakhir diusir oleh Romawi.

Pada 1860 lahirlah seorang yang kelak memprakarsai kongres zionis yakni Theodor Herzl dia bekerjasama dengan seorang bangsawan sekaligus konglomerat dari Inggris bernama Lionel Walter Rothschild keturunan penggagas Sistem perbankan.

Mereka bekerja sama bagaimana caranya membeli pemukiman di daerah Bait al-Maqdis untuk menumbuhkan negara Israel. Namun pada saat itu Khalifah Abdul Hamid II menolak total bahkan beliau menyatakan “Kami tidak akan bersembunyi di balik benteng yang dibangun dari uang-uang Yahudi dan lebih baik Kami mati atau menusukkan pedang ke tubuh kami daripada kami menyaksikan tanah ini diambil mereka. Tanah ini bukan tanah kami, tanah ini tanah umat yang menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi simpan uang mereka seandainya Daulah Usmani ini hancur suatu saat nanti mereka bisa ambil tanpa bayar.”

Maka ketegasan-ketegasan itu ada pada kaum muslimin ketika mereka mempunyai kekuatan dan kepemimpinan akhirnya orang-orang Yahudi mengincar kepemimpinan ini dan meluluhlantakkannya pada perang dunia pertama sehingga tercerai-berailah kekuatan kaum muslimin di negeri-negerinya.

Maka pada tahun 1916 dibagilah tanah-tanah itu melalui perjanjian Sykes-Picot, akhirnya Inggris memberikan wilayah Palestina kepada Yahudi dan pada 14 Mei 1948 didirikanlah negara Israel oleh PBB diamini oleh Amerika Serikat sebagai pemenang perang dunia ke-2.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline