Dalam satu perbincangan warung kopi seorang bapak berkata,
"Aku sih kepingin punya anak yang saleh biar gak pintar yang penting saleh".
Temannya menimpali, "Kalau Aku sih inginnya anak yang pintar tentu dengan kepintarannya dia akan menjadi saleh."
Sejenak saya merenungkan perbincangan mereka, kok jadi ada yang aneh kenapa Saleh dan pintar menjadi kata yang dihadap-hadapkan, mengapa seolah menjadi ada dikotomi antara kedua kata tersebut.
Para nabi dahulu adalah orang-orang yang saleh dan pintar/cerdas. Era sahabat sampai zaman keemasan Islam banyak orang-orang yang pintar juga saleh. Jadi antara kesalehan dan kepintaran harusnya berbanding lurus.
Orang saleh adalah orang yang cerdas, sedang orang yang berilmu harusnya mampu membimbing dirinya ke tahap kesalehan.
Idealnya memang harus begitu, namun kenyataannya banyak orang yang terpelajar sudah besar menjadi orang besar mengotak-atik ilmunya untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan di posisinya.
Tega mengorupsi dana bantuan, menipu rakyat awam, meneror yang lemah.
Ketika seseorang naik pangkat atau jabatan biasanya diukur dari kemampuan akademiknya, tak sembarang orang menjadi pimpinan apa pun kecuali dia mempunyai latar belakang akademik yang baik alias pintar.