Lihat ke Halaman Asli

Abah Raka

catatan-catatan receh tentang filsafat dan politik

Siswa, Korban Konten Media (Saat Wartawan Menjadi Subjek dan Objek Berita)

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_136664" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi dari vivanew.com"][/caption] Berita pemukulan Wartawan menjadi salah satu berita yang popular dalam minggu terakhir, di samping kasus korupsi yang melibatkan sejumlah menteri. Mereka dihadap-hadapkan dengan siswa yang melakukan pemukulan terhadap salah satu wartawan foto media nasional. Bagi saya sendiri, ada hal yang menjadikan berita ini cukup popular; pertama karena wartawan itu sendiri dan yang kedua karena posisi pemukul sebagai siswa/ pelajar SMA.

Wartawan memiliki hak prerogative untuk memberitakan apapun selama berita itu dapat dijual dan bernilai berita. Apalagi dapat bernilai menjadi berita popular. Ini akan menguntungkan bagi sebuah media karena akan dijadikan referensi oleh para konsumen media yang akan mengangkat popularitas terhadap institusinya.

Sebagai institusi atau person yang memiliki kewenangan/ berkuasa dalam membuat berita tentu sah-sah saja saat wartawan dan medianya melakukan subjektifitas dalam pemberitaan. Walapun wartawan diharuskan untuk membuat berita yang objektif, namun nilai objektifitas suatu berita tidak terlepas dari pengalaman dan pengetahuan sang wartawan, dalam kasus atau masalah apapun. Sehingga nilai subjektifitas wartawan akan tetap tidak bisa lepas dari konten media.

Salah satu fungsi komunikasi massa adalah sebagai penafsir dari suatu peristiwa. Saya memberikan contoh jika ada aksi demonstrasi di kantor pemerintah, lantas mahasiswa tersebut merusak pagar dan membakar ban, berita tersebut akan memiliki isi berbeda jika yang memberitakannya wartawan mantan demonstran dan reporter Humas Pemkot tersebut. Wartawan yang berasal dari aktifis akan memberitakan dari sudut pandang aktifis yang menilai pemerintahan. Sementara staf humas pemkot akan memberitakan tentang aksi mahasiswa yang mengganggu dan merusak fasilitas umum. Walaupun peristiwanya sama tetapi cara mengambil framenya berbeda.

Hal yang saya cermati dalam kasus pemukulan terhadap wartawan pun demikian adanya. Wartawan, dalam pandangan saya telah melakukan subjektifitas pemberitaan terhadap kasus pemukulan terhadap wartawan tersebut. Emosi para wartawan turut terlibat dalam pembelaan kepada sesama rekan wartawan sendiri. Saya mengambil kesimpulan sementara tersebut, karena mencermati sejumlah pemberitaan yang menilai bahwa pemukulan tersebut murni kesalahan siswa.

Pemberitaan secara terus menerus pemukulan yang dilakukan oleh siswa SMA 6 Jakarta terhadap wartawan tersebut akan mengarahkan mindset penonton bahwa wartawan sebagai korban yang tidak bersalah sama sekali. Apa akibatnya terhadap pemberitaan ini? Hampir semua masyarakat mengecam sikap dan perilaku siswa SMA 6 tersebut, bahkan sudah mengarah kepada institusi yang diwacanakan untuk memutus satu generasi.

Dari kesalahan siswa menjadi hukuman bagi institusi. Tentu saja ini tidak salah, karena institusi bertanggungjawab terhadap perilaku anak didiknya sebagai hasil dari system pendidikan yang dijalankannya. Namun kita tidak pernah menelisik lebih jauh, apakah ini benar-benar kesalahan siswa SMA 6 sendiri ataukah kesalahan system yang lebih tinggi lagi? Sebab perilaku buruk tersebut tidak hanya aksi brutal saja, namun juga tindakan asusila yang saat ini sudah menyebar ke daerah-daerah seperti kasus video porno, atau geng motor, atau pun geng perempuan yang meresahkan siswa lainnya. Oleh karena itu menghukum SMA 6 secara kelembagaan ataupun personal (siswa dan pihak manajemen sekolah) sangatlah tidak adil dalam pandangan saya, begitupun menyalahkan secara membabi buta siswa SMA 6 bagi saya tidaklah tepat, karena mereka adalah bagian dari objek pendidikan belaka yang sikap dan tingkah lakunya telah digerogoti oleh system yang ada.

Namun pada kenyataannya, kita sama sekali tidak mengetahui bagaimana perlakukan salah seorang wartawan tersebut terhadap siswa yang sedang diliputi oleh emosi saat tawuran. Hal ini luput dari sorotan media, karena tidak mungkin seorang yang sedang melakukan pembelaan mengakui kesalahannya tanpa syarat. Teman-teman wartawan yang sprofesi pun tentu akan lebih bersimpatik pada rekannya sendiri daripada terhadap siswa yang sedang tawuran apalagi hal tersebut dipandang sebagai aksi brutal.

Siswa Korban Media

Saya setuju jika siswa yang melakukan pemukulan merupakan tindakan brutal dan sama sekali tidak dibenarkan, oleh karena itu sayapun setuju jika mereka diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, kita semua termasuk wartawan ataupun pihak berwajib harus sadar bahwa subjektifitas akan selalu ada, karena pada akhirnya objektifitas itu menjadi relative dalam sebuah pemberitaan terlebih lagi pemberitaan yang menyangkut pihak rekan wartawan yang menjadi korban. Sebagai korban tentu akan merasa tersakiti dan dizolimi yang akan menutup ruang kebenaran dalam pemberitaannya.

Hal yang harus disadari oleh awak media adalah bahwa aksi brutal yang dilakukan oleh siswa tersebut merupakan akumulasi yang tersimpan dalam memory mereka akan konten yang sering mereka tonton dalam media massa terutama televisi. Seperti kita ketahui konten televisi lebih banyak menyiarkan konten-konten yang dapat merusak perilaku remaja. Sinetron-sinetron kita lebih banyak menunjukan tentang kekerasan yang dilakukan oleh remaja.

Remaja yang masih mencari jati diri akan menganggap bahwa tindakan licik, brutal, intrik, kekerasan yang ditampilkan televisi adalah hal biasa belaka. Bahkan tindakan-tindakan tersebut merupakan aksi seru-seruan saja seperti halnya bagaimana remaja ABG geng motor yang melakukan perampokan terhadap minimarket bersama teman-temannya. Pola pikir mereka yang belum bisa berfikir jauh tentang dampak dan nilai baik buruknya tentu akan lebih memilih berfikir pendek untuk seru-seruan bersama teman-temannya.

Siapakah yang mengajari mereka tentang seru-seruan? Kenapa mereka merasa bahwa hal tersebut sulit dibedakan nilai baik-buruknya saat bersama rekan-rekan meraka, karena mereka lebih memilih aksi seru-seruan daripada nilai ada di dalam berserta dampak ke depannya? Saya memandanya, media lah yang mengajari mereka.

Media tidak hanya mengajarkan kekerasan, media pun sebagai penafsir telah mengajarkan bagaimana agar masyarakat bersikap kritis. Saat pelajar tahu bahwa tindakannya yang dinilainya tidak baik, namun seru, diliput oleh media akan menjadikan berita bagus bagi media tetapi menjadi berita buruk bagi mereka (bad news is good news), tentu saja mereka tidak rela jika mereka dijadikan objek kesalahan oleh Media. Saya melihatnya hal ini adalah sesuatu hal yang wajar, para siswa berada pada posisi pembelaan walaupun dinilai salah. Inilah pelajaran berharga bagi media. Propagandanya menjadi boomerang bagi awak media sendiri.

Tata ulang Mindset Konten Media

Menurut pandangan masyarakat pengkaji media, berita-berita dan siaran media lainnya, konten media banyak yang tidak mendidik. Bahkan jargon yang sering muncul dari konten tersebut adalah bad news is good news. Coba kita cermati, kasus bom bali, pelakunya saat akan dihukum mati malah seolah-olah menjadi pahlawan, sekarang pun Nazarudin bak pahlawan yang akan membongkar aliran dana yang dikorupsi, bahkan acara empat mata menjadikan Sumanto sebagai ‘pahlawan’ hingga harus menanggung malu acaranya dihentikan. Masih banyak konten-konten yang bertolak belakang dengan moral budaya bangsa namun seolah-olah menjadi konten yang berkualitas dan menarik bagi media itu sendiri. Jika saat ini awak media menjadi korban keganasan para konsumen media, kenapa mereka yang harus disalahkan. Bukankah yang harus diperbaiki adalah mindset dari konten siaran media itu sendiri yang selama ini menjadi guru bagi para Remaja?

Melalui tulisan sederhana ini, saya hanya ingin merefleksikan diri tentang sumber kesalahan dari kasus ini. Kita pun sebagai penikmat berita jangan cepat terpengaruhi oleh berita yang bersifat subjektif, karena wartawan pun punya peran untuk memancing emosi para siswa tersebut.

Hidup Konten Berkualitas!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline