Lihat ke Halaman Asli

Abah Raka

catatan-catatan receh tentang filsafat dan politik

Poligami Realitas Media Sosial

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seringkah kita berinteraksi dengan warga Kompasiana (kompasianer)? Apakah kita termasuk kompasianer yang suka bergabung dengan komunitas, seperti Negeri Ngotjoleria, Desa Rangkat atau Planet Kenthir? Dimana di sana ada semacam ketua rombongannya dengan istilah khas komunitasnya masing-masing? Apa yang kita rasakan ketika kita bergabung dengan komunitas tersebut? Merasa senang bukan? dan tentu eksistensi kita merasa lebih terwadahi disana.

Bagian sebagian kompasianer termasuk saya sendiri, bergabung dengan komunitas tersebut merupakan hal yang sangat menyenangkan, disana kita bertambah teman, saling bercanda atau ledek-ledekan. Saling mengomentari hingga demikian beruntun dan panjang. Berangkat dari komunitas tersebut pun ketua rombongannya membuat grup khusus di fesbuk yang bisa saling berinteraksi secara langsung. Komentar dan saling ledek-ledekan diantara teman satu komunitas dan kompasianer lainnya tersebut menambah suasana sangat berkesan dan hangat, akrab, merasa terikat sebagaimana layaknya satu keluarga besar. Keakraban pun terjadi seolah berada dalam realitas nyata, bukan lagi dunia maya, sehingga realitas virtual tersebut benar-benar telah dianggap sebagai realitas sebenarnya.

Padahal tentu saja satu sama lain tidak bertemu muka secara langsung (Kopdar). Bagian sebagian kecil, ya mereka pernah melakukan tatap muka di alam nyata, tapi sebagian besar yang lain, keakraban itu hanya terjadi di dunia maya saja. Namun keakraban di alam virtual tersebut benar-benar mewujud dalam bathin masing-masing kompasianer. Ketika alam virtual warga kompasianer telah mewujud dalam bathinnya masing-masing dengan berbagai ekspresinya baik marah, bahagia, haru, sedih, senang, tertawa terbahak dan lain sebagainya, maka alam virtual tersebut sudah mengambil alih peran alam nyata yang sebenarnya. Maka itulah media social telah melakukan poligami dengan realitas, ia menduakan realitas dengan alam virtual yang telah dianggapnya nyata.

Poligami realitas (realitas yang mendua atau lebih) merupakan istilah lain dari hiperrealitas atau postrealitas. Ia adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas telah dilampaui dan diambil alih oleh substitusi yang tercipta secara artificial lewat sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut realitas. Menurut Yasraf Amir Piliang Postrealitas merupakan sebuah kondisi terhadap matinya realitas, yaitu diambil alihnya posisi realitas itu oleh apa yang sebelumnya disebut nonrealitas. Ia mewujudkan dirinya menjadi realitas artificial yang bersifat factual, lewat kemampuan sentuhan sains dan teknologi seni dan citra.

Realitas virtual yang telah mengkampanyekan dirinya sebagai realitas baru yang nyata tersebut memunculkan dirinya melalui pencitraan-pencitraan. Apakah pencitraan tersebut memiliki referensi dalam realitas nyata? Bisa memiliki referensi bisa juga tidak sama sekali. Namun ketiadaan referensi tersebut dalam alam nyata tidak pernah terdeteksi sebelumnya oleh masyarakat virtual. Masyarakat virtual hanya percaya pada citra yang dimunculkan oleh sesuatu tersebut entah itu berbentuk citra foto, citra tulisan, citra profil ataupun citra-citra lainnya yang menggambarkan seseorang.

Kompasiana sebagai weblog social dengan mengedepankan berbagai macam tulisan tidak terlepas dari penjelmaan realitas citraan melalui sifat virtualnya. Beberapa kasus pernah terjadi di Kompasiana. Saya ambil contoh yang paling ingat dalam benak saya yait;

Pertama adalah kasus Puri. Kasus Puri pernah menghebohkan warga kompasiana karena Profil Puri yang menggambarkan dirinya menderita satu penyakit. Warga Kompasianer turut mendukung perjuangan yang dilakukan oleh Puri, beberapa kompasianer bahkan turut menulis tentang profil Puri, apalagi ketika dikabarkan bahwa Puri meninggal Dunia, beberapa kompasianer dengan keahliannya dalam menulis mengungkapkan bela sungkawanya. Tapi setelah beberapa lama, heboh berita bahwa Puri sama sekali tidak ada dalam alam nyata, ia hanyalah rekaan seorang peserta lomba iklan. Sangat menyakitkan. Namun sebelum akhirnya terbongkar, Puri dianggap sebagai benar-benar nyata. Dalam kasus ini media social mampu mencitrakan seseorang yang sama sekali tidak memiliki referensi dalam realitas sebenarnya. Ia lah Puri sang 'Pahlawan' dari rekaan virtual. Seingat saya ini adalah kasus pertama di Rumah Sehat Kompasiana.

Kedua yang paling saya ingat adalah kenyataan gangguan yang dimunculkan oleh para warga Kompasianer yang merasa terganggu sehingga sampai mengadu ke Admin. Bayangkan sebuah tulisan yang dalam beberapa saat dapat lengser namun seringkali popular mengganggu dengan nyata para kompasianer lain. Gangguan ini seolah-olah nyata, bahkan sudah dianggap tidak sehat lagi. Padahal tentu saja ini hanya ekspresi warga virtual yang menganggap dunia maya sebagai realitas sebenarnya, sehingga tulisan-tulisan warga NN (Negeri Ngotjoleria) tersebut benar-benar dianggap mengganggu dan tidak menyehatkan. Padahal kita tentu dapat memilih-milih tulisan yang kira-kira bermutu menurut kita, kenapa mesti terganggu oleh tulisan 'tidak bermutu' ala warga NN. Inilah kenyataannya, realitas maya telah dianggap benar-benar nyata oleh sebagian warga virtual sehingga hal-hal yang menganggapnya tidak baik yang ada di alam virtual dianggap sebagai ancaman yang nyata. Padahal tentu saja hal tersebut tidak demikian adanya, karena hal tersebut hanya terjadi di dunia virtual saja.

Ketiga adalah terbentuknya komunitas-komunitas yang terjadi di Kompasiana, semisal Negeri Ngotjoleria, Desa Rangkat, dan Planet Kenthir. Komunitas tersebut yang sebagiannya sudah membuat grup di fesbuk mengikat satu sama lainnya dengan saling mengomentari dan melibatkan warganya dalam fiksi yang mereka ciptakan. Aktifitas di antara mereka membuat mereka merasa terhibur, terikat, dan saling memiliki satu sama lain. Mereka pun memiliki peran dan tugasnya masing-masing dalam komunitas tersebut. Peran dan pengakuan antar warga subkomunitas di Kompasiana tersebut menjadi pengikat eksistensi mereka. Ada yang berperan sebagai Raja, Permaisuri, Menteri, warga, kepala desa, ada juga yang saling berpacaran dan lain sebagainya. Mereka pun begitu asyik menjalani peran mereka masing-masing sehingga membuat mereka merasa lebih eksis lagi. Mereka bahagia, senang, terharu, sedih, marah, cinta dan ekspresi lainnya.

Apakah ekspresi mereka nyata? Saya merasakan dan mengiranya demikan. Namun apakah mereka terikat dalam komunitas yang nyata pula dalam alam sesungguhnya? Tentu saja tidak karena mereka berada dalam alam virtual. Namun apa yang mereka rasakan benar-benar nyata sebagaimana halnya dirasakan oleh beberapa warga NN yang merasa rindu akan negerinya tersebut. Namun komunitas tersebut telah menciptakan realitas yang seolah-olah nyata. Inilah bentuk lain dari poligami realitas atau hiperrealitas. Ia telah menciptakan realitas kedua di samping realitas sebenarnya.

Keempat, pernahkah kita dengar beberapa warga Indonesia diculik dan diperkosa oleh orang yang dikenalnya difesbuk? Mengapa mereka mau di ajak untuk bertemu. Dalam pandangan saya, karena fesbuker tersebut mampu menciptakan realitas yang diinginkan oleh lawannya, ia mampu menciptakan citra yang sesuai dengan selera lawannya sehingga dapat menarik lawan jenis, sementara setelah bertemu, citraan yang diciptakannya tersebut bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tampilkan difesbuk. Inilah bentuk hiperrealitas media yang mampu menciptakan realitas citraan baru dalam sudut pandang dunia realitas manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline