[caption id="attachment_303693" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi dari google image"][/caption]
Cukup menarik diskusi yang terjadi di Halaman Rainny Drupadi tentang Mengapa Saya Memutuskan Menjadi Atheis. Menarik karena di situ banyak pelajaran logika yang saya dapatkan dari teman-teman kompasianer, walaupun kadang logikanya nyontek dari wikipedia.
Namun yang lebih menarik adalah pernyataan paradoks dari penulis sendiri tentang ke ateisannya. Ia mengakui menganut faham ateis namun dalam pernyataan-pernyataannya banyak yang kontradiksi. Sesungguhnya dari pernyataannya tersebut ia menjelaskan sendiri bahwa dia sesungguhnya ber-Tuhan, tetapi bukan Tuhan dalam agama-agama yang telah ada, namun agama modern.
Saya sendiri memahami Tuhan tidak hanya terperangkap dalam agama-agama formal yang terlembagakan seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi atau yang lainnya yang di lahirkan baik sebagai hasil wahyu atau singgungan kehidupan manusia (budaya) seperti di ceritakan dalam buku-buku pelajaran. Saya memahami tuhan/ Tuhan dalam sebagai bentuk kekuatan yang kita yakini, baik dalam diri ataupun di luar diri. Sejarah memberikan pengetahuan kepada kita bagaimana kehidupan manusia purba yang percaya kepada kekuatan alam atau kita mengenalnya sebagai animisme dan dinamisme. Bagi mereka itulah Tuhannya, yang menjadi sumber kekuatan di luar kemampuan dirinya. Itulah Tuhan bagi mereka, kekuatan alambeserta fenomenanya. Bagi manusia purba, yang belum mengenal Tuhan dalam definisi agama formal, Tuhan adalah kekuatan-kekuatan tersebut.
Satu hal yang menarik dari jawaban Rainny Drupadi ketika saya komentar dengan pertanyaan apakah dia percaya kekuatan lain di luar kekuatan dirinya? Dia menjawab,” Percaya. Kekuatan alam, kekuatan orang lain”.
Kepercayaan ini menunjukan bahwa dia memiliki sumber kekuatan lain sebagai pegangan hidupnya yaitu kekuatan alam dan kekuatan orang lain. Dalam kepercayaan purba kekuatan alam dapat dikatakan sebagai agama yaitu Dinamisme. Tentu saja hal ini tidak dapat kita sebut sebagai ateis karena dia memiliki kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan tersebut.
Begitupun ketika menjawab komentar-komentar dari kawan diskusinya banyak pernyataan-pernyataannya yang menunjukan bahwa dia sangat percaya kekuatan-kekuatan yang dapat di katakana sebagai Tuhan-nya. Berikut pernyataan-pernyataannya yang menunjukan bahwa dia sebetulnya tidak ateis.
“Tentu saya akan merenung, kontemplasi, bahkan mungkin meditasi, menenangkan pikiran, berekreasi”
Dalam komunikasi, merenung adalah suatu aktifitas mencari jawaban dari sesuatu di luar dirinya, jika ia mencari jawaban dari akalnya sendiri, dan percaya pada akalnya maka ia ber- Tuhan pada akalnya sendiri. Jika saja kita definisikan menurut kacamata Islam, dimana Tuhan lebih dekat dengan dengan urat nadi manusia, maka sesungguhnya ia sedang mencari jawaban dari Tuhan, walaupun Drupardi tidak mengakuinya.
“Saya sendiri tidak mengatakan bahwa Tuhan 100% pasti tidak ada”.
Ini artinya bahwa Tuhan ada/ eksis menurut kacamatanya, walaupun kecil kemungkinan, ini menunjukan bahwa ia percaya adanya Tuhan, ia tidak ateis dalam hal ini.
“Saya tidak menyangkal Tuhan metaforik, sebagai simbol sesuatu di luar batas pengetahuan manusia sejauh ini”.
Kalimat ini jelas-jelas sebuah pengakuan atas eksistensi Tuhan.
“Kalaupun memang Tuhan itu ada, pastinya dia begitu agung dan luhur, dia tidak akan pernah meminta kita repot-repot menyembah”.
Ini juga menunjukan bahwa dia mengakui adanya Tuhan, baginya Tuhan itu luhur dan agung, tapi tidak terjebak pada pemahaman Tuhan dalam agama-agama yang ada. Dalam kacamata Islam dikatakan bahwa Tuhan memang tidak perlu penyembahan dari manusia, karena umat Islam lah yang butuh.
“Saya tidak berhamba pada apapun kecuali keluhuran pikir dan budi manusia”
Inilah bentuk nyata terhadap penuhanan atas keluhuran pikir dan budi manusia, sebagai ciri agama modern seperti kepercayaan si Descartes.
“Bagi saya, yang telah terbebas dari alam pemikiran religi, ancaman itu tidaklah se-riil ancaman di depan mata berupa golok dan pentungan aktivis FPI.”
Tentu saya lebih takut pada FPI, manusia, daripada kepada barang-barang gaib, seperti Tuhan, malaikat, jin, hantu, kuntilanak, tuyul, santet, dan lain-lain yang tidak pernah bisa dibuktikan eksistensinya.
Ia sangat percaya pada kekuatan nyata, ini menunjukan bahwa ia menganut faham materialisme, bukankah ini juga sebagai bentuk penuhanan?
Daripada beribadah menyembah Tuhan tapi hati dan pikir tidak ikhlas. Daripada jadi hipokrit? Bukannya saya tidak berusaha untuk ikhlas menyembah Tuhan, saya lakukan bertahun-tahun, tapi semakin lama semakin tidak sreg.
Menyembah Tuhan yang ikhlas, tidak dengan pamrih. Saya melihat bahwa ia selalu pamrih, namun tidak mendapatkan apa-apa ketika berdoa. Tentu saja pemahaman yang salah. Makanya lebih baik tidak berdoa karena tidak pernah mendapatkan apa-apa karena pada akhirnya mebuang-buang waktu saja. Ia mencari pelarian lain untuk menemukan tuhannya, yaitu dengan cara tidak mengakui adanya tuhan, bukankah ini penuhanan juga terhadap ketiadaan Tuhan?
“Sabar Pak. Ingat, Tuhan dan para Nabi menganjurkan kita untuk sabar.”
Kalimat ini jelas-jelas menunjukan kepecayaannnya akan Tuhan dan Nabinya.
Sekian, saya melihat bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang tidak pernah bertuhan, atau ateis—fahamnya disebut ateisme, karena pada dasarnya ketika kita yakin akan kekuatan di luar diri kita termasuk potensi akal yang kita miliki sebagai kekuatan satu-satunya yang dapat membimbingnya dalam hidup, ia sesungguhna bertuhan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H