Beberapa kali, Prabowo menyatakan kesamaan idenya dengan Capres nomor dua. “Saya sependapat dengan Pak Jokowi, kalo bagus harus diakui bagus.” Ujar Prabowo saat menyampaikan pendapatnya dalam Debat ke 3 tentang Politik Internasional dan Ketahanan Nasional (22/06) malam tadi.
Misalnya Prabowo berpendapat tentang keharusan TKI untuk dibekali dengan pendidikan yang sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Capres nomor dua. Pada debat pertama juga Prabowo sepakat soal ekonomi kreatif yang diusung Jokowi.
Walaupun anekdot dari pendukung Capres nomor dua bahwa untuk Presiden pun Prabowo mendukung Capres nomor dua karena beberapa kali menyatakan ‘sependapat’ tentu saja ini sebuah kecacatan berfikir.
Namun ada benang merah yang dilontarkan oleh masyarakat yang tidak melewatkan pentingnya debat capres tersebut, yaitu:
#PERTAMA, kesetujuan prabowo terhadap pendapat Jokowi sebagai bentuk kebesaran hatinya. Betapa tidak, orang yang telah ia bawa ke Jakarta, dan ia sendiri yang melobi Megawati untuk menjadikan Jokowi menjadi Cagub tahun 2012 lalu kini menjadi lawannya di arena politik nasional. Walaupun Jokowi tidak memiliki Fatsoen, dan justeru sering menunjukan sikap perlawanannya terhadap Prabowo, Prabowo tetap berbesar hati dengan kesetujuannya tersebut. Inilah sikap sebagai negarawan sejati.
#KEDUA, Sikap tersebut menunjukan bahwa Prabowo seorang yang terbuka dan demokratis. Ini sekaligus menepis anggapan bahwa Prabowo orang yang otoriter. Ada sebagian kalangan, khususnya para aktifis demokrasi yang sangat phobia terhadap kemenangan Prabowo termasuk pada penyandang dana di belakangnnya. Salah satu alasannya, jika Prabowo menjadi presiden, maka bangunan demokrasi yang telah dibangun selama belasan tahun dan telah memiliki pondasi yang kuat akan hancur lebur. Namun dengan sikap yang ditunjukan Prabowo, tanpa dibuat-buat dengan kesetujuannya tersebut. Ketakutan tersebut terjawab. Sikap mengakui pendapat orang lain adalah salah satu sikap demokratis yang dimiliki oleh seseorang. Ia tidak merasa pendapatnya selalu benar.
#KETIGA, sikap ini juga menunjukan karakter yang dimiliki oleh Prabowo; tidak egosi, tidak ingin menang sendiri. Sikap inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Teringat buku Eri Sudewo tentang Character Building, bahwa karakter ‘tidak egosi’ merupakan karakter dasar yang harus dimiliki para pemimpin. Karakter ini yang akan mengantarkan seorang pemimpin selalu mendengarkan keluhan dan masukan dari bawahannya atau rakyatnya jika ia seorang Presiden. Karakter ini yang akan menjadikan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi harmonis.
#KEEMPAT, sikap di atas menunjukan kesederhanaan dan kebersahajaannya sebagai pemimpin. Ia tidak berhebat-hebat dengan pemikiran para intellektual atau para tokoh. Ia tidak jumawa dengan pemikirannya sendiri. Ia tidak mengagung-agungkan pemikirannya sendiri. Justeru ia mengapresiasi pemikiran-pemikiran orang-orang yang ada di sekitarnya. Tanpa keluar dari alur konsep yang telah dimilikinya. Ini sikap sederhana yang sejati. Pemikiran sederhana yang istimewa. Jarang pemimpin memiliki sikap seperti ini, walaupun seseorang itu selalu dibilang sederhana dan merakyat. Justeru sikap mengakui kelebihan lawan inilah kesederhanaan yang sejati. Ia betul-betul tidak menjaga jarak. Ia dekat. Salah besar jika dinilai bahwa sikapnya tidak merakyat. Justeru dari pemikiran inilah diketahui bahwa Prabowo betul-betul merakyat. Yang tentunya berbeda dari sikap sebaliknya yang dimiliki oleh lawan debatnya.
Pada akhirnya Rakyatlah yang menilai. Ini bagian dari penilaian rakyat yang jauh dari hiruk pikuk politik, jauh dari hiruk pikuk jakarta. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan Partai. Semoga bermanfaat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H