Hmmm saya masih ingat kedongkolan saya terhadap media. Saat itu, Garut sedang menghadapi masa panas-panasnya menghadapi Pemilukada. Namun tiba-tiba ada lemparan bola panas dari Media gara-gara Bupati menikah siri dan dalam waktu beberapa bulan diceraikan. Memang ada indikasi jika hal ini dimanfaatkan oleh para pemain politik. Dan terkenallah kota kecil di selatan Jawa Barat ini. Kabupaten yang selalu diidentikan sebagai daerah tertinggal oleh media-media nasional, padahal punya IPM 7,2 ini tiba-tiba selalu mengisi berita-berita nasional. Aceng Fikri sebagai bupati pun tiba-tiba jadi seleb. Beritanya selalu mengisi layar kaca, bahkan masuh ranah gosip.
Ya memang jadi rame dan terkenal, bahkan bukan hanya kota kecilnya, gadis-gadisnya pun menjadi terkenal.Orang-orang jadi penasaran dengan Garut. Namun yang tidak pernah terlupakan adalah situasi sosial politik di Garut menjadi panas. Demonstrasi hampir tiap hari bahkan saat saya berkunjung ke Garut Demonstrasi di lakukan sampe malam. Antara yang pro dan kontra bahkamn saling beradu fisik di arena demonstrasi. Jika tidak ada aparat keamanan mungkin sudah rusuh.
Tanggung Jawab siapa? Media!
Media terus-terusan menayangkan berita tentang pernikahan siri dan perceraian melalui SMS Bupati Garut saat itu. Hampir di setiap media; cetak, elektronik, juga online. Aceng Fikri menjadi ikon baru dalam dunia seleb. Seleb-seleb beneran juga ikut komentar tentang perilaku Aceng Fikri yang saat itu. Kabar-kabar yang diberitakan menjadi terpaan dan mempengaruhi massa sehingga muncullah gelombang demonstrasi yang tiadak henti. Padahal sebelum isu ini dijadikan makanan empuk oleh media, Garut aman-aman saja dan tentram.
Lho, apa hubungannya sama Pilpres?
Di masa tenang ini, media harusnya juga ikut memberikan kenyamanan untuk warga. Namun, alih-alih memberikan ketenangan justeru media melakukan blunder. Misalnya, berita Kompas.com yang memberitakan tentang kericuhan pemungutan suara di Hongkong yang dijadikan sebagai HL hari ini. Bagi saya, ini bagian dari memanas-manasi. Karena berita yang dimuat tidak melakukan kroscek ke lapangan, kroscek yang betul-betul berimbang. Misalnya, jika berita itu memuat informasi dari pendukungnya Jokowi atau relawannya, harusnya juga memuat dari pendukungnya prabowo atau relawannya.
Bahkan berita kompas.com tersebut menyebutkan, jika yang mengatakan “Silahkan masuk tapi hanya pemilih hanya pemilih nomor satu” yang dikutip dari Ariesta.
Hasil kroscek yang saya lakukan terhadap TKI yang saya kenal di media sosial, pemilu di Hongkong tidak ricuh seperti yang diberitakan media. Hanya saja jika terjadi peristiwa agak panas memang betul, tetapi masih dalam tarap biasa-biasa saja.
Menurut sang teman, celetukan di atas tidak dikatakan oleh panitia pemilu tetapi oleh temannya sendiri, itu pun konteksnya Candaan sesama TKI. Bukan sebagai pemilih yang mendukung salah satu calon. “bukan, bukan dari pengurusnya, tapi dari kitanya ko (pemilih)” ujar teman yang bernama Ishe.
Jadi tidak benar jika di Hongkong terjadi kericuhan. Jika terjadi salah faham iya. Itu pun karena penuhnya antrean sementara waktu yang diizinkan terbatas. Saat saya saksikan you tube juga tidak ada kericuhan kecuali yang teriak-teriak lebay. Dengan bahasa-bahasa kurang etis seperti ‘mampus’. Padahal sangat jelas, masih bisa nyoblos.
Capres juga harus mampu meredam massanya yang anarkistis, jangan lantas justeru memanas-manasi.
Yu kawal pemilu yang jujur dan bersih. Sekarang saatnya betul2 buka mata buka hati. Media-media sudah tidak netral. Jangan terpancing isu tidak jelas. Fokus untuk Indonesia SATU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H