Jika ingin menikmati suasana pasar tempo dulu, datanglah ke Pasar Kaki Langit dan rasakan sensasinya.
Rasa penasaran yang sangat besar tentang Destinasi Digital, membawa saya ke Pasar Kaki Langit di Magunan, Bantul Yogyakarta. Apa sih Destinasi Digital itu? Ini pertanyaan kepenasaran saya yang sangat besar, sehingga bisa merasakan sensasi Pasar Kaki Langit. Ini merupakan tempat wisata yang sangat banyak pilihan untuk dapat kita nikmati.Pasar Kaki Langit bukan sekedar menyuguhkan keindahan tempo dulu wajah desa di Yogyakarta. Ini adalah desa masa lalu yang 'bangkit kembali' di tengah perubahan jaman. Pasar ini merupakan salah satu Destinasi Digital yang digagas oleh Genpi, guna meramaikan pariwisata di Indonesia.
Sebenarnya tujuan saya ke Yogya ini untuk mengikuti Lomba Foto, namun ternyata ajakan Mas Teguh dan Mas Johan untuk menjelajah Desa Wisata Magunan ini begitu kuat sekali, bye bye Lomba foto.
Namun itu semua terbayar dengan menerima keramahan khas Yogyakarta di Maguna, ketika saya bingung sedang mencari Mas Teguh yang akan bertemu di Pasar Kaki Langit ini.
Tiba tiba saya di tanya "Mas temannya Pak Teguh ya? Sapa Pak Kencrung dengan ramah dan berpakaian jawa. "Nggih Pak" Jawab saya. Dan saya langsung di antar ke meja Mas Teguh. Inilah keramahan yang saya rasakan langsung dari Mas Kencrung. Dan ternyata Mas Teguh teman saya ini sudah sangat populer sekali di Pasar Kaki Langit. Antara warga dan tamu seakan tidak ada jarak walau baru beberapa jam berinteraksi. Ini bakal memberikan pengalaman yang bagus buat para tamu, sehingga merasakan envi yang begitu kental.
Selain keramahan warganya saya juga bisa merasakan bau desa yang sangat khas. Pucuk rumput teki, embun yang menggantung di dedaunan serta batang bambu yang rimbun. Wajah orang desa yang lekat dengan kain luriknya, kebaya, kain jarit dan selendang batik. Juga topi caping yang menutupi sebagian sanggul sederhananya.
Saya melihat dari kejauhan tersedia makanan khas Yogyakarta seperti kue apem, jadah dan lainnya. Tempe tanpa kemul yang baru diangkat dari penggorengan, Bledak (nasi jagung) dan tiwul juga teh manis. Pagi itu saya bersama Mas Teguh dan juga Mas Johan menikmati Nasi Gudeg, Bledak, Tiwul dengan Teh Nasgitel.
Pasar Kaki Langit benar-benar menyuguhkan wajah pasar tempo dulu yang membuat saya kagum sejak detik pertama menginjakkan kaki di pasar ini. Luar biasa. Terbayar sudah rasa penat saya menempuh perjalanan selama 8,18 jam menggunakan Kereta Api dari stasiun Stasiun Pasar Senen hingga stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Lunas, pas, dan sah kata anak jaman now. Untuk kemudahan pemesanan tiket ini, saya melalui aplikasi Pegipegi.
Untuk menyambangi Pasar Kaki Langit, saya tidak mengalami kesulitan untuk jaman now. Saya hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit menggunakan sepeda motor dengan jarak tempuh 21 KM dari Pasar Bringharjo. Anda yang ingin merasakan sensasinya alam Yogyakarta, memang boleh juga mencoba naik kendaraan umum, melintas persawahan, kebun, kampung-kampung dan deretan pohon turi di pinggir jalan. Ada bis Trans Yogyakarta yang melintas hingga Plengkung Gading. Dari halte tersebut, anda bisa memilih menggunakan ojek online, ojek pangkalan atau juga dokar.
Tetapi hari itu saya memilih menggunakan ojek online dari titik pemberangkatan Pasar Beringharjo, ujung Jalan Malioboro karena mengejar waktu untuk bisa menikmati Pasar Kaki Langit. Bukan tidak tergelitik dengan eksplor kota Yogyakarta, tetapi saya benar-benar ingin berada di Pasar Kaki Langit sejak matahari terbit hingga jam pasar bubaran.
Ya, Pasar Kaki Langit sebagaimana pasar tradisional jaman dulu, hanya buka setengah hari. Dan hanya bisa dijumpai pada Hari Sabtu dan Hari Minggu.
Pasar Kaki Langit adalah satu dari sekian banyak destinasi digital yang dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata. Kementerian dibawah komando Pak Arief Yahya tersebut mencoba menghadirkan wajah pasar tradisional tempo dulu.
Tak hanya orang-orangnya yang berpakaian tradisional yang dijumpai di pasar tersebut. Saya juga dibuat terpana pada detik kedua sesaat hendak bertransaksi. Bagaimana tidak. Seluruh transaksi menggunakan koin dengan nilai 2,5 dan 10. Koin tersebut bisa dibeli di kasir di pintu masuk pasar. Kami menukarkan uang sebesar Rp 50.000 di kahir kunjungan masih ada sisa Rp 16.000 yang ditukar kembali dengan uang.
Ide yang sungguh-sungguh brilian, kata saya. Sempurna, menghadirkan wajah pasar yang kini sudah punah. Saya serasa berada di panggung pementasan, berperan sebagai wisatawan yang datang dari negeri masa depan.