Dari hari ke hari jalanan di DKI Jakarta terasa semakin padat dan semrawut. Beberapa tahun yang lalu kemacetan masih bisa ditebak hari dan jamnya, sekarang hampir tiada hari tanpa macet kecuali tengah malam hingga dini hari dan hari libur besar.
Upaya pemprov DKI dalam mengatasi kemacetan dengan menata parkir liar, PKL dan membenahi sistem transportasi publik merupakan upaya yang patut didukung dan dihargai; tetapi walaupun hal tersebut sudah dilakukan hampir satu tahun kelihatannya kemacetan tidak berkurang tetapi semakin parah, tol dalam kota pun hampir tiada hari tanpa macet panjang bahkan jalan-jalan di komplek perumahan pun tidak luput dari macet.
Dikeluarkannya kebijakan mobil LGCC oleh pemerintah pusat semakin memusingkan kepala pejabat pemprov DKI. Disatu sisi pemprov DKI tidak mungkin melarang masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor, disisi lain apabila tidak dilakukan tindakan, beberapa tahun kedepan mungkin kendaraan di jalanan DKI hanya bisa merayap karena terlalu penuh.
Dari segala upaya pemprov DKI mengatasi pembatasan pemilikan kendaraan bermotor, upaya terbaru adalah kebijakan menaikkan tarif pajak progresif sekitar 2x lipat dari sebelumnya;
Sebagai salah satu pemilik dan pengguna kendaraan pribadi, saya ragu apabila kebijakan tersebut bisa efektif mengingat pada masa Foke juga sudah diberlakukan pajak progresif tetapi kenyataan dilapangan penjualan kendaraan tetap saja meningkat karena masyarakat sudah tahu 'celanya' untuk menghindari pajak progresif tersebut.
Dari sekian banyak cara membatasi pemilikan kendaraan bermotor, mengapa pemprov DKI tidak belajar dari negara tetangga, Singapura, yang telah berhasil membatasi pertambahan jumlah kendaraan bermotor di negaranya. Cara tersebut adalah mewajibkan setiap calon pembeli kendaraan untuk memperoleh CoE (Certificate of Entitlement), yaitu semacam sertifikat atau ijin untuk memiliki kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh dinas terkait.
Disana CoE hanya dikeluarkan dengan jumlah terbatas setiap tahunnya dengan mengacu data jumlah kendaraan yang beredar dengan kapasitas jalan; CoE dapat diperoleh dengan mengikuti lelang yang diadakan dinas terkait. Dengan CoE pemerintah dapat mengatur jumlah kendaraan yang boleh beredar setiap tahunnya. Walaupun dilelang, biaya untuk memperoleh CoE ini tidaklah murah karena bisa berjumlah hingga puluhan juta rupiah. Sistem lelang ini apabila dilakukan di Indonesia mungkin akan menimbulkan kontroversi karena akan dianggap tidak adil karena hanya orang kaya yang mampu mendapatkannya.
Apabila diterapkan di DKI Jakarta, mungkin sistem lelang ini bisa digantikan dengan sistem penetapan jumlah tertentu untuk setiap jenis kendaraan berdasarkan kapasitas mesin (misalnya dengan tarif 30% - 50% dari nilai jual kendaraan) sehingga semua masyarakat tetap berhak membeli kendaraan apabila telah melakukan kewajibannya membayar biaya CoE.
Saya rasa cara ini akan lebih efektif dan lebih cepat dapat dilaksanakan tanpa perlu menghabiskan banyak biaya seperti ERP, Stiker hologram dan lainnya. Yang perlu dilakukan hanya membuat perda yang mengatur tentang hal tersebut dan semoga akan disetujui oleh DPRD karena ini adalah demi kenyamanan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H