Lihat ke Halaman Asli

Asas Peradilan Indonesia: Susah, Lama dan Biaya Tinggi

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418748246423539363

[caption id="attachment_359856" align="alignleft" width="150" caption="Uang diatas hukum"][/caption]

Salah satu asas atau prinsip yang dianut oleh peradilan di Indonesia sesuai ketentuan di Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun ternyata dalam prakteknya, tidak berbeda dengan asas-asas lain yang berlaku di negeri ini, asas tersebut juga hanya dianggap angin lalu bagi pejabat pelaksananya.

Hal ini dapat terlihat dari sikap sebagian besar hakim dinegeri ini yang dalam memutuskan suatu perkara seringkali tidak berpedoman kepada asas tersebut, dimana tidak jarang ketika menangani suatu perkara yang sederhana dapat menghabiskan waktu hinggal 6 bulan karena dengan sengaja membuat proses berperkara menjadi terlihat rumit untuk mengulur waktu..

Salah satu contoh pengabaian asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan oleh para hakim yang paling sering ditemui dinegeri ini adalah terkait putusan sela tentang kewenangan mengadili pengadilan. Ketentuan Hukum Acara Perdata Pasal 133 HIR / Pasal 159 RBg secara jelas mengatur bahwa eksepsi tentang kewenangan pengadilan negeri setempat untuk mengadili harus diajukan pada permulaan sidang. Berdasarkan ketentuan tersebut, pihak berperkara yang merasa pengadilan bersangkutan tidak berwenang untuk menangani perkaranya wajib menyampaikan keberatan tentang tidak berwenangnya pengadilan tersebut pada awal persidangan, dan secara normatif, karena keberatan “harus” diajukan pada permulaan persidangan maka sudah sewajarnya hakim yang menangani “harus” mempelajari dan menjatuhkan putusan atas keberatan tersebut pada permulaan persidangan pula.

Tetapi dalam kenyataannya, seringkali, entah karena sebab apa (hanya sang hakim dan Tuhan yang tahu), hakim seolah-olah sengaja mengulur waktu persidangan hingga berbulan-bulan, hingga ke tahap akhir persidangan baru menjatuhkan putusan sela tidak berwenang mengadili. Tentu saja ini membuat kita semua bertanya-tanya, apakah wajar seorang hakim yang memimpin sidang tidak tahu apakah pengadilan negeri tempat dirinya bernaung, berwenang atau tidak untuk menangani suatu perkara sehingga perlu untuk melalui semua tahapan hingga ke tahap akhir persidangan.

Apabila dilihat dari kacamata umum tentunya yang dapat kita bayangkan adalah pasti ada udang dibalik batu. Kemungkinan terbesar adalah hakim telah “bermain” dengan salah satu pihak yang berperkara untuk sengaja mengulur waktu agar persidangan berjalan lebih lama dengan alasan antara lain untuk membuat pihak lain capek sehingga mundur dari proses sidang atau apabila salah satu pihak telah berusia lanjut, mengulur waktu tentunya dapat menambah harapan pihak lainnya untuk meraih “kemenangan” seandainya pihak yang telah berusia lanjut tersebut ternyata meninggal dunia selama proses persidangan berjalan.

Alasan para hakim dalam putusannya terkait lamanya penjatuhan putusan sela tersebut umumnya selalu sama yaitu tidak ada aturan yang mengatur kapan putusan sela tentang kewenangan mengadili harus dijatuhkan padahal pihak yang berperkara harus mengajukan keberatan tentang kewenangan pada permulaan persidangan. Sebagai seorang sarjana hukum baru, saya baru sadar ternyata begitulah wajah hukum dinegara ini yang sangat berbeda dengan apa yang didapatkan di bangku kuliah. Negeri yang sudah merdeka lebih dari 65 tahun tetapi rakyatnya masih hidup dalam bayang-bayang penjajahan. Celakanya, dahulu penjajahan dilakukan oleh bangsa asing, yang terkadang walaupun keras tetapi terkadang masih menyisahkan nilai pendidikan kepada anak bangsa, sedangkan dijaman sekarang, penjajahan dilakukan oleh bangsa sendiri yang berdiri dibalik undang-undang yang memberi mereka kewenangan untuk menjajah dan menyusahkan bangsanya sendiri.

Semoga tulisan ini dibaca oleh para hakim agung di Mahkamah Agung dan anggota-anggota dewan terhormat sehingga dapat dilahirkan peraturan yang jelas dan tegas kepada para hakim-hakim di pengadilan negeri tentang batas waktu penjatuhan putusan sela menyangkut kewenangan relatif pengadilan negeri sehingga masyarakat pencari keadilan tidak dibiarkan menunggu tanpa kejelasan dan menghabiskan biaya besar hanya untuk menghadiri persidangan dan menghadirkan saksi hanya untuk mendapatkan putusan sela bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline